![]() |
Sentra Golok Galonggong Manonjaya (sumber : facebook/Chep Zak blades) |
Kabupaten Tasikmalaya memang dikenal luas akan panorama alamnya yang memikat. Namun, di balik hijaunya perbukitan dan sejuknya udara, tersimpan pula sebuah warisan budaya yang tak kalah memikat—kerajinan tangan tradisional. Bukan hanya bordir khas Tasik, kelom geulis, atau payung kertas yang menjadi ikon, tetapi juga sebuah senjata khas yang terus dipertahankan dari masa ke masa: golok Galonggong.
Jika suatu hari Anda melintasi jalur dari Alun-alun Manonjaya menuju wilayah Cineam, Anda akan melewati sebuah kampung bernama Galonggong di Desa Cilangkap, Kecamatan Manonjaya. Di sepanjang jalan beraspal yang mulus itu, berjejer lapak-lapak sederhana di pinggir jalan. Uniknya, bukan makanan atau oleh-oleh yang mereka jajakan, melainkan deretan golok dengan beragam bentuk dan ukuran—semuanya merupakan golok Galonggong, simbol kearifan lokal yang telah diwariskan sejak zaman kolonial Belanda.
Golok Galonggong tidaklah seperti golok biasa. Bentuknya melengkung ke atas dengan ujung yang lebih panjang dan tajam di bagian belakang, menciptakan siluet yang khas dan mudah dikenali. Pegangannya dibuat dari kayu yang dibentuk secara ergonomis, sering kali dihiasi dengan ukiran halus yang mempercantik tampilannya. Tidak jarang pula ditemukan golok dengan gagang dari tanduk, yang membuatnya tampak lebih mewah dan berkelas.
Salah satu sosok yang telah lama menekuni usaha ini adalah Pak Yoyo, pemilik lapak "Subur Sejahtera". Ia telah menggeluti dunia penjualan golok Galonggong selama hampir dua dekade. “Sudah hampir 20 tahun saya berjualan di sini,” tuturnya dengan ramah. Ia menceritakan bahwa awal mula sentra golok di kampung ini mulai terbentuk pada tahun 2000, dan kini sudah ada sekitar 25 hingga 30 lapak yang berjejer menjajakan hasil karya perajin lokal.
Hampir seluruh warga Kampung Galonggong menekuni profesi sebagai pembuat golok secara turun-temurun. Hasil karya mereka, termasuk yang dijual oleh Pak Yoyo, ditawarkan dengan harga bervariasi—mulai dari Rp100 ribu hingga di atas Rp300 ribu, tergantung pada bahan dan desainnya. Golok dengan gagang kayu berada di kisaran harga bawah, sementara yang menggunakan tanduk berada di kelas premium.
Tak hanya golok, Pak Yoyo juga menjual berbagai alat pertanian seperti cangkul, sabit, dan skop. Namun, ia mengakui bahwa saat ini minat masyarakat terhadap golok menurun drastis. “Dulu sehari bisa dapat Rp500 ribu sampai Rp1 juta. Sekarang mah sepi, Pak,” keluh pria berusia 65 tahun ini. Menurutnya, mungkin kondisi ekonomi yang membuat banyak orang menunda membeli.
Namun di balik penurunan penjualan, Pak Yoyo tak kehilangan semangat. Ia tetap berharap bahwa pamor golok Galonggong akan kembali bersinar. “Mudah-mudahan peminatnya ramai lagi, Pak,” ujarnya penuh harap.
![]() |
Golok Galonggong Manonjaya (sumber ; facebook/Tatang Golok Galonggong) |
Golok Galonggong bukan sekadar alat atau senjata. Ia menyimpan nilai-nilai budaya yang mendalam. Sejak dahulu kala, golok ini digunakan oleh para leluhur sebagai alat perlindungan, juga sebagai bagian dari berbagai ritual adat seperti pernikahan, kematian, hingga upacara keagamaan. Ia adalah saksi bisu dari perjalanan sejarah masyarakat Manonjaya.
Kini, di tengah arus modernisasi yang deras, eksistensi golok Galonggong berada di ujung tantangan. Namun, dengan dukungan dari pemerintah daerah dan promosi yang berkelanjutan, sentra kerajinan ini memiliki potensi besar untuk dijadikan destinasi wisata budaya unggulan di Tasikmalaya.
Golok Galonggong bukan hanya sebilah besi dengan ukiran indah. Ia adalah identitas. Ia adalah warisan. Dan selama masih ada tangan-tangan yang menempa, serta hati-hati yang percaya pada nilainya, golok Galonggong akan terus hidup—menemani waktu, menantang zaman.