![]() |
Tenun Gadod Majalengka (sumber : facebook/Ayi Kayeng) |
Tanah Sunda tak hanya kaya akan alamnya yang memesona, tetapi juga menyimpan warisan budaya yang begitu lekat dengan kearifan lokal. Salah satu bentuk kekayaan budaya itu terwujud dalam wastra—kain tradisional—yang tak sekadar bahan sandang, melainkan juga cerita yang ditenun dengan kesabaran, filosofi, dan cinta pada tradisi. Dari ujung barat hingga timur Jawa Barat, berbagai jenis kain tradisional lahir dengan keunikannya masing-masing. Ada Batik Cirebon yang megah, ada Tenun Baduy yang bersahaja, dan di antara perbendaharaan wastra Sunda yang mulai terpinggirkan, berdirilah Tenun Gadod, kain khas dari Majalengka yang kini nasibnya menggantung di ujung harapan.
Berasal dari Desa Nunuk Baru, Kecamatan Maja, Tenun Gadod adalah selembar kisah yang dirangkai dari benang-benang kapas dan ketekunan tangan-tangan tua yang tak pernah lelah menjaga pusaka. Namun, seiring waktu berjalan dan minat generasi muda meredup, Tenun Gadod kini berada di ambang kepunahan. Di balik keindahan dan nilai filosofisnya, tinggal segelintir orang yang masih setia menenun asa untuk kain ini tetap hidup—salah satunya adalah seorang perempuan sepuh bernama Emak Maya, sang penjaga terakhir warisan leluhur Majalengka.
Tenun Gadod: Jejak Warisan dari Masa Penjajahan
Tak banyak yang tahu bahwa Tenun Gadod pernah mengalami masa kejayaannya. Siti Khodijah (21), keponakan dari Emak Maya, menuturkan bahwa tak ada catatan resmi yang mengabadikan sejarah kain ini. Namun cerita turun-temurun menyebutkan bahwa kain ini sudah ada sejak masa penjajahan Jepang. Kata “Gadod” sendiri merujuk pada makna kuat dan tebal, mencerminkan karakter kain yang dihasilkan dari kapas pilihan.
Awalnya, perajin menggunakan kapas alit—kapas yang dikenal pada masa pendudukan Jepang. Namun karena keberadaannya kini tak lagi ditemukan di Desa Nunuk, para perajin pun beralih menggunakan kapas honje, jenis kapas lokal yang ditanam sendiri. Proses menanam kapas hingga mengolahnya menjadi benang dilakukan secara mandiri, sebuah bentuk keteguhan yang mencerminkan jiwa mandiri masyarakat pengrajin Tenun Gadod.
Tradisi yang Tertuang dalam Setiap Helai
Membuat satu lembar kain Tenun Gadod bukan perkara mudah. Dibutuhkan waktu sekitar 7 hingga 10 hari, tergantung tingkat kerumitan motif dan kondisi cuaca. Setiap tahapannya, mulai dari membuat benang, mewarnai secara alami, hingga menghitung kebutuhan benang untuk satu kain, dilakukan dengan cara tradisional yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Tidak ada mesin modern. Semua dilakukan dengan tangan dan hati.
“Inilah yang membedakan Tenun Gadod dari tenun lainnya,” tutur Siti. “Benangnya kami buat sendiri, kapasnya juga kami tanam sendiri. Semuanya murni dari alam dan keringat kami.”
Sentuhan tradisional dalam prosesnya menjadikan Tenun Gadod bukan sekadar produk tekstil, tapi sebuah karya budaya yang menyimpan jejak nilai, ketelatenan, dan cinta pada warisan leluhur.
Ancaman Kepunahan dan Harapan yang Masih Menyala
Sayangnya, cerita indah ini bisa saja berhenti di generasi Emak Maya. Saat ini, hanya ada tiga orang di seluruh Jawa Barat yang masih aktif membuat Tenun Gadod—Emak Maya, Siti Khodijah, dan satu orang lainnya. Minimnya minat generasi muda, ditambah kurangnya dukungan dari pihak luar, membuat Tenun Gadod terancam benar-benar hilang dari peradaban.
Padahal, di tengah gempuran industri fashion modern dan produk massal, Tenun Gadod menyimpan potensi sebagai simbol keunikan dan keaslian budaya lokal. Ia bukan hanya kain, tapi identitas. Jika punah, bukan hanya sehelai kain yang hilang, melainkan juga bagian penting dari jiwa Majalengka.
Kini, lebih dari sekadar menyayangkan, sudah saatnya masyarakat dan pemerintah bergerak bersama untuk melestarikan Tenun Gadod. Baik melalui program pendampingan perajin, promosi budaya, hingga pelibatan generasi muda dalam pelatihan dan pemasaran digital. Karena setiap wastra tradisional adalah harta tak ternilai. Dan setiap helai Tenun Gadod adalah pelajaran tentang ketekunan, keindahan, dan keberanian untuk mempertahankan jati diri di tengah zaman yang terus berubah.
Apakah kita rela menyaksikan Tenun Gadod tinggal menjadi cerita? Atau justru kini saatnya kita ikut menenun kembali harapan untuk warisan budaya ini tetap hidup?