![]() |
Kesenian Sisingaan (sumber: pinterest) |
Kesenian Sisingaan merupakan salah satu bentuk ekspresi kreatif masyarakat Kabupaten Subang yang mendukung dinamika aktivitas sosialnya. Kreativitas masyarakat senantiasa mengalami perubahan alami seiring perkembangan zaman.
Menurut Abah Salim, seorang pembuat patung singa (wawancara, 2011), kesenian Sisingaan awalnya berasal dari tradisi ritual masyarakat Subang dalam menyambut prosesi khitan anak laki-laki. Dalam tradisi ini, calon anak yang akan dikhitan diarak keliling kampung dengan cara duduk di atas kursi berhias yang disebut jampana.
Jampana tersebut dipikul oleh empat orang dewasa, sementara iring-iringan tersebut diiringi musik sederhana menggunakan alat seperti dog-dog, kendang, kempul, dan kecrek. Pola musik yang dimainkan bernuansa penca silat dengan improvisasi spontan, tanpa perencanaan yang baku. Pada masa itu, gerakan para pemikul jampana juga belum terstandarisasi dan hanya berupa langkah biasa, dengan kostum seadanya.
Seiring perjalanan waktu, terjadi perubahan pada bentuk dan fungsi jampana. Bentuknya berkembang menjadi patung singa bongsang, yaitu patung yang terbuat dari rangka bambu (carangka), dilapisi karung goni, dengan kepala dan kaki dari kayu randu. Rambutnya dibuat dari tali rafia, matanya dari tutup botol, dan patung ini dipikul oleh empat orang dewasa.
Dalam Saresehan Kesenian Sisingaan tahun 1982, dihasilkan kesepakatan mengenai struktur pertunjukan seni ini, yang kemudian didokumentasikan dalam buku karya H. Armin Asdi, Perkembangan Kesenian Sisingaan di Kabupaten Subang (1982). Kesenian Sisingaan dimaknai sebagai simbol perjuangan masyarakat Kabupaten Subang melawan penjajahan Inggris.
Patung singa melambangkan penguasa atau penjajah, yang saat itu identik dengan simbol Kerajaan Inggris. Anak yang menaiki patung singa mewakili generasi penerus bangsa, payung melambangkan perlindungan bagi mereka, dan para pemikul singa melambangkan rakyat pribumi yang tertindas.
Awalnya, Sisingaan hanya merupakan bagian dari aktivitas ritual masyarakat sehari-hari di Subang, namun kemudian berkembang menjadi seni pertunjukan yang menghibur. Menurut Koentjaraningrat dalam Teori Antropologi Budaya, bentuk kreativitas yang lahir dari masyarakat lokal dan berkembang hingga melampaui wilayah asalnya merupakan bagian dari evolusi budaya.
Perubahan pada jampana tidak hanya mencakup bentuknya, tetapi juga fungsi, struktur pertunjukan, hingga kostum yang digunakan. Fungsi awal Sisingaan sebagai kesenian helaran kini telah bergeser menjadi seni hiburan panggung. Saat ini, kesenian Sisingaan tidak hanya tampil dalam acara khitanan, tetapi juga sering dipertunjukkan dalam berbagai acara resmi dan seremonial.
Perkembangan dan perubahan kesenian Sisingaan menjadikannya identitas budaya masyarakat Kabupaten Subang. Lebih dari itu, seni ini juga telah menjadi ikon khas daerah yang merepresentasikan kekayaan budaya Subang.