![]() |
Colenak Bandung (sumber : pinterest) |
Jawa Barat bukan hanya dikenal dengan alamnya yang memikat dan budaya Sunda yang hangat, tapi juga dengan kekayaan kulinernya yang terus hidup dari generasi ke generasi. Di balik deretan pegunungan dan sawah-sawah yang menghijau, tersimpan warisan rasa yang tak kalah memesona—salah satunya berasal dari singkong. Si umbi sederhana ini tak hanya diolah sebagai camilan biasa, melainkan menjelma menjadi sajian khas bernama peuyeum sampeu, yang aromanya saja bisa membangkitkan kenangan masa kecil.
Peuyeum bukan hanya sekadar tape singkong. Ia adalah hasil perpaduan antara tradisi, kreativitas, dan cita rasa yang terus berkembang. Dari yang dulu hanya dikukus atau dibakar, kini peuyeum menjelma dalam berbagai rupa dan rasa. Salah satu kreasi paling ikonik dan menggugah selera adalah colenak—singkatan dari “dicocol enak”—yang tak hanya mengenyangkan perut, tapi juga menyentuh hati dengan kisah panjang di balik kelezatannya.
Di antara ragam jajanan tradisional Jawa Barat, colenak punya tempat istimewa. Lebih dari sekadar peyeum yang dibakar lalu disiram saus manis, colenak adalah perayaan rasa dan sejarah dalam satu gigitan. Nama colenak sendiri berasal dari kependekan kata "dicocol enak", istilah sederhana yang justru menggambarkan kenikmatan otentik dari kudapan ini.
Colenak terbuat dari peuyeum sampeu—tape singkong khas Sunda—yang dibakar perlahan hingga muncul aroma karamel dari gula alaminya. Setelah matang, ia disajikan dengan saus legit dari lelehan gula merah dan kelapa parut. Namun seiring waktu, kreativitas masyarakat terus menghadirkan variasi baru. Di Cipatat, misalnya, colenak disajikan dengan enten—kelapa parut manis yang dimasak hingga agak kering—ditambah saus santan dan harum daun jeruk. Ada pula versi colenak durian yang memadukan manisnya peyeum dengan lelehan durian matang. Bahkan, colenak pisang tape pun hadir sebagai inovasi unik, di mana potongan pisang kepok menjadi "wadah" bagi si peuyeum.
Menurut Chye Retty Isnendes, budayawan Sunda sekaligus sekretaris Asosiasi Tradisi Lisan (2010–2019), proses pembakaran atau pengukusan peuyeum bukan hanya soal rasa, tetapi juga cara mempertahankan daya tahan makanan. Peuyeum yang sudah dibakar bisa disimpan lebih lama dan digunakan kapan saja untuk membuat colenak. Karena tinggi kandungan gulanya akibat fermentasi, proses membakar pun harus cermat agar tidak gosong. Meski begitu, bagi banyak orang, sisi gosong inilah justru yang paling nikmat—karamel alami yang memperkaya rasa.
Peuyeum sendiri berasal dari bahasa Sunda yang berarti “diperam”. Kata ini menggambarkan proses fermentasi singkong yang direbus, didinginkan, lalu diberi ragi. Secara linguistik, istilah "tapai" berasal dari akar bahasa Proto-Austronesia tapaj atau tapay, yang berarti fermentasi. Konsep ini sudah dikenal sejak zaman nenek moyang bangsa Melayu.
Kemunculan peuyeum sebagai makanan rakyat dipercaya telah ada sejak booming-nya produksi singkong untuk bahan tapioka di masa Bupati Bandung R.A.A. Martanagara pada awal abad ke-20. Ketika industri tapioka sedang berjaya dan menjadi komoditas ekspor, singkong ditanam secara masif di wilayah Bandung dan sekitarnya. Tradisi kuliner peuyeum pun ikut tumbuh, menyatu dalam denyut nadi masyarakat Sunda.
Seiring berjalannya waktu, colenak bukan hanya berkembang secara rasa tapi juga makna. Dalam pupuh dan tembang Sunda, colenak muncul sebagai bagian dari ekspresi budaya. Dalam masa perjuangan, colenak menjadi asupan para pejuang Siliwangi. Bahkan, istilah “peuyeum digulaan”—yang mengawali kemunculan colenak—sudah populer sejak 1930-an berkat Pak Murdi, seorang penjual kaki lima yang kemudian menjadi ikon kuliner kota Bandung.
Kini, toko Colenak Murdi Putra yang berada di Jalan Ahmad Yani, Bandung, masih menjaga cita rasa legendaris itu, sekaligus mengembangkan varian baru seperti rasa durian dan nangka. Colenak telah menjelma bukan sekadar jajanan nostalgia, tapi juga warisan kuliner yang terus hidup—dari tungku-tungku dapur tradisional hingga lidah generasi masa kini.
Apakah kamu sudah pernah mencicipi colenak hari ini? Jika belum, mungkin sudah waktunya menyelami rasa manis yang kaya cerita ini.