![]() |
Ubi Cilembu Sumedang (sumber : pinterest) |
Di tengah ragam sumber karbohidrat yang biasa kita temui di meja makan, seperti nasi, jagung, atau sagu, ada satu primadona dari Tanah Sunda yang belakangan kian mencuri perhatian para pecinta kuliner sehat: ubi Cilembu. Lebih dari sekadar pengganti nasi, ubi manis ini menyimpan kisah khas tentang tanah, rasa, dan kearifan lokal yang membesarkannya.
Berasal dari sebuah desa bernama Cilembu di Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, ubi ini sudah mulai dikenal sejak dekade 1990-an. Meski tergolong lokal, popularitasnya telah menembus pasar nasional bahkan internasional. Banyak yang menyebutnya sebagai ubi madu, karena saat dipanggang, cairan lengket seperti madu akan meleleh dari daging umbinya—menjadi penanda khas sekaligus daya tarik utama dari varietas ini.
Rasa Manis yang Tumbuh dari Tanah Sumedang
Tak seperti ubi jalar biasa, ubi Cilembu memiliki karakter yang unik. Kulitnya berwarna gading dengan guratan-guratan halus di permukaan, bentuknya memanjang, dan aroma manis khas akan tercium ketika dipanggang. Rahasia kelezatannya bukan hanya dari genetik semata, tetapi juga dari ‘rumah’ tempat ia tumbuh. Tanah di Desa Cilembu memiliki komposisi unsur hara yang ideal untuk pertumbuhan ubi ini—kondisi yang sulit ditiru di luar daerah tersebut.
Fakta ini diperkuat lewat penelitian Agustina Monalisa Tangapo dari Institut Teknologi Bandung (ITB), yang menyebut bahwa rasa manis pada ubi Cilembu sangat dipengaruhi oleh keberagaman mikroba yang hidup di tanah tempat ubi itu tumbuh, terutama bakteri jenis rizosfer dan endofit. Inilah mengapa rasa ubi Cilembu asli dari desa asalnya berbeda jauh jika dibandingkan dengan yang ditanam di luar wilayah tersebut.
Tak Cocok Digoreng, Justru Makin Nikmat Jika Dipanggang
![]() |
Ubi Cilembu Panggang (sumber : pinterest) |
Ubi Cilembu dikenal sangat manis dan lembut—satu kombinasi rasa yang menjadikannya cocok untuk dinikmati dalam bentuk panggangan. Menurut Dr. Yayat Hidayat, dosen ITB, ubi Cilembu kurang cocok jika diolah dengan cara digoreng atau direbus. Digoreng, ubi ini cenderung cepat gosong karena kadar gulanya yang tinggi. Sementara jika direbus, gula alami di dalamnya bisa larut sehingga mengurangi cita rasa khas yang seharusnya muncul.
Proses ideal penyajian ubi ini adalah dengan memanggangnya menggunakan oven atau arang selama kurang lebih 30 hingga 90 menit, tergantung ukuran ubi. Menariknya, ubi Cilembu sebaiknya tidak langsung dipanggang setelah dipanen. Umumnya, ubi baru akan mencapai puncak rasa manisnya setelah disimpan selama 5 sampai 7 hari. Saat sudah siap diolah, ciri-ciri fisiknya akan tampak: berat sedikit menyusut, kulit menjadi agak keriput, dan teksturnya lebih lentur ketika dibengkokkan.
Dari oven yang hangat, akan keluar aroma manis menggiurkan, disertai lelehan seperti madu yang lengket dan mengilap di permukaannya—itulah 'madu' alami yang hanya muncul dari ubi Cilembu. Cairan ini bukan hanya pemanis visual, melainkan juga penanda bahwa ubi telah mencapai kematangan sempurna dan siap disantap.
Dari Ladang Lokal ke Pasar Dunia
Keunikan rasa dan keistimewaan cara pengolahan membuat ubi Cilembu tak hanya digemari masyarakat lokal, tetapi juga menembus pasar ekspor, termasuk Jepang, Korea, dan sejumlah negara di Timur Tengah. Selain karena rasanya yang manis alami dan kaya energi, kandungan gizinya juga membuatnya populer di kalangan pencinta gaya hidup sehat.
Tak berlebihan jika ubi Cilembu disebut sebagai kekayaan kuliner khas Sumedang yang lahir dari tanah yang subur, dirawat oleh kearifan lokal, dan kini menjelma menjadi produk unggulan yang mewakili identitas daerah. Sebuah contoh nyata bahwa kebaikan rasa bisa datang dari kesederhanaan, selama dirawat dengan cinta dan tradisi.
Dan di setiap gigitan ubi yang manis dan legit itu, ada cerita panjang yang mengikat antara alam, manusia, dan rasa yang tidak bisa diduplikasi di tempat lain. Begitulah kisah si manis dari Sumedang ini terus hidup dan dicintai, bukan hanya karena enaknya, tapi juga karena jejak budaya yang ia bawa.