Trusmi Cirebon, Sentra Batik Jawa Barat yang Tetap Eksis di Era Digital

Jabar Tourism
0

Kawasan Batik Trusmi Cirebon (sumber : genpi.id)

Jika menyebut batik Cirebon, maka nama Trusmi akan selalu menjadi bagian dari perbincangan. Terletak di Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon, Desa Trusmi sudah lama dikenal sebagai pusat penghasil batik khas Cirebon yang memikat. Dari kain panjang, kemeja, hingga syal dan blus, deretan produk batik dengan corak khas membanjiri etalase toko-toko di kawasan ini. Tak heran, wisatawan dari berbagai penjuru datang ke Trusmi untuk merasakan atmosfer otentik dari kampung para pembatik legendaris ini.


Menurut Raden Chaidir Susilaningrat—seorang pelestari budaya sekaligus pendiri komunitas Kendi Pertula Cirebon—Trusmi memang menjadi jantung kerajinan batik Cirebon. “Keahlian membatik di sini diwariskan dari generasi ke generasi. Trusmi adalah rumah bagi para perajin batik,” tuturnya. Kini, geliat membatik tak hanya berdenyut di Trusmi, tapi juga merambat ke desa-desa sekitar seperti Trusmi Wetan, Trusmi Kulon, Gamel, Kaliwulu, hingga Kalitengah. Berdasarkan catatan Komarudin Kudiya—pemilik Rumah Batik Komar sekaligus pewaris perajin batik Trusmi—terdapat lebih dari 1.400 perajin aktif di kawasan tersebut.


Dari Tapak Sejarah Ki Buyut Trusmi

Jejak batik Trusmi tak lepas dari sejarah panjang Cirebon itu sendiri. Konon, keberadaan para pembatik di Trusmi bermula sejak dibukanya padukuhan Cirebon oleh Mbah Kuwu Cirebon, jauh sebelum berdirinya keraton. Meski belum ditemukan bukti tertulis, kisah-kisah lisan menyebut bahwa tokoh yang berjasa besar dalam menyebarkan tradisi membatik di Trusmi adalah Ki Buyut Trusmi, seorang tokoh spiritual yang juga dikenal sebagai guru agama dan pembimbing moral masyarakat setempat.


Menariknya, batik buatan warga Trusmi begitu halus dan berkualitas, hingga dipercaya dan dipakai oleh kalangan keraton. Kepercayaan ini membawa batik Trusmi menjadi bagian dari budaya istana, sejajar dengan batik-batik hasil para empu di dalam lingkungan keraton itu sendiri.


Antara Simbol Keraton dan Nuansa Pesisir

Dua gaya batik pun tumbuh subur di tanah Trusmi: motif keraton dan motif pesisiran. Batik keraton umumnya mengusung ornamen yang erat dengan simbol-simbol kerajaan, seperti Singa Barong, Siti Inggil, dan Taman Sari. Motif ini awalnya terbatas hanya untuk kaum bangsawan atau penghuni keraton.


Di sisi lain, motif pesisiran lahir dari dinamika kehidupan masyarakat pantai. Coraknya lebih bebas, lincah, dan penuh warna, terinspirasi dari flora, fauna, hingga kehidupan laut. Kehadiran komunitas Tionghoa turut memberi sentuhan artistik yang khas, menghasilkan motif seperti Mega Mendung, yang kini menjadi ikon batik Cirebon di mata dunia.


Dahulu, batik Trusmi dijual dengan cara berpindah-pindah dari pasar ke pasar, dari kios ke kios. Namun seiring berkembangnya industri pariwisata dan dorongan pemerintah untuk mengangkat potensi lokal, wajah Trusmi pun berubah. Rumah-rumah warga disulap menjadi showroom batik megah, menarik minat pembeli lokal hingga mancanegara.


Namun di balik gemerlap itu, ada realita yang tak bisa disangkal: jurang antara pembatik dan pemilik modal. Seorang yang tak bisa membatik tapi punya modal bisa dengan mudah menjadi pengusaha. Tapi pembatik tradisional tanpa akses modal, hanya bisa menjadi buruh di industri yang ia sendiri hidupkan. “Pemerintah harus turun tangan untuk mengangkat harkat para pembatik,” tegas Chaidir.


Ia menyarankan adanya klasifikasi antara pembatik pemula dan ahli, agar para perajin berpengalaman bisa mendapatkan nilai ekonomi yang layak dari keahliannya.


Dulu, Trusmi punya wadah kolektif bernama Koperasi Batik Budi Tresna, yang menaungi para pembatik dan memperkuat posisi mereka secara ekonomi. Lutfiyah Handayani, pemilik batik Samida, mengenang masa itu sebagai masa kejayaan. “Dulu kami masih mendapat pesanan mukena dari koperasi hingga tahun 90-an,” kenangnya. Sayangnya, koperasi itu kini meredup seiring berjalannya waktu, meninggalkan nostalgia sekaligus PR besar untuk membangkitkan kembali kekuatan kolektif di tengah era digital.


Trusmi bukan sekadar kampung batik. Ia adalah napas panjang tradisi, warisan budaya yang tumbuh dari tangan-tangan terampil, dan menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Cirebon. Di sela aroma malam dan bunyi canting yang menari, Trusmi terus menuliskan kisahnya—satu motif demi satu motif—di atas lembaran kain, dan di hati siapa pun yang pernah singgah.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)