![]() |
Masjid Merah Panjunan (sumber : facebook/Dodik Bogeman) |
Di balik hiruk-pikuk kota pelabuhan Cirebon yang kian padat, berdiri sebuah bangunan sederhana dari bata merah yang menyimpan kisah lintas zaman. Ia bukan sekadar tempat ibadah, melainkan potongan sejarah hidup yang seolah berbisik tentang kejayaan dakwah, kekuatan tradisi, dan cinta lintas budaya. Inilah Masjid Merah Panjunan—sebuah masjid tua yang bukan hanya saksi perjalanan waktu, tapi juga simbol harmoni keberagaman di Tanah Jawa.
Terletak di Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Masjid Merah merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia yang hingga kini masih berdiri kokoh. Didirikan pada tahun 1480 oleh Syarif Abdurakhman atau yang lebih dikenal sebagai Pangeran Panjunan—seorang ulama sekaligus pedagang tanah liat—masjid ini menjadi pusat spiritual bagi komunitas Arab yang kala itu mendiami kawasan tersebut.
Pangeran Panjunan mendirikan masjid ini setelah mendapatkan restu dari Sunan Gunung Jati. Ia memilih bata merah sebagai material utama bangunan bukan semata-mata karena estetika, tetapi sebagai simbol keberanian dan keteguhan umat Islam dalam menegakkan kejujuran.
Warisan Budaya dalam Setiap Pilar
Memasuki kompleks Masjid Merah, nuansa klasik langsung terasa. Dua gapura menyambut dengan ukiran yang menggambarkan perpaduan budaya Jawa, Arab, dan Tionghoa. Atap gapura menyerupai mahkota, membawa nuansa masa lampau yang megah. Begitu masuk ke dalam, suasana sejuk langsung menyapa, kontras dengan panasnya cuaca luar. Seorang pengunjung dari Jakarta, Rahman, berkata, "Rasanya adem banget. Masjidnya juga unik, terbuka seperti pendopo."
Masjid ini ditopang oleh 17 pilar jati besar yang melambangkan jumlah rakaat dalam salat lima waktu. Pilar-pilar itu tak hanya menopang struktur fisik, tapi juga nilai-nilai spiritual. Ukiran kaligrafi Arab menghiasi kayu-kayunya, membawa suasana khusyuk yang menyelimuti ruang utama.
Arsitektur yang Menceritakan Zaman
Bentuk Masjid Merah tak luas, namun penuh makna. Bagian tengah difungsikan sebagai aula utama salat berjamaah, dengan sebuah pintu kecil menuju ruang khusus yang hanya dibuka dua kali setahun: saat Idul Fitri dan Idul Adha. Ruang ini diyakini sebagai tempat bersejarah peninggalan langsung dari masa Sunan Gunung Jati.
Empat pintu kecil dan lima pintu besar menghubungkan tiap bagian masjid. Pintu-pintu kecil itu menjadi simbol kerendahan hati manusia di hadapan Tuhan. Di sisi kiri terdapat area salat perempuan yang dibatasi tirai hijau, menghadap ke sebuah ruangan kecil yang dulu digunakan oleh istri dan ibu Sunan Gunung Jati untuk berzikir.
Tak jauh dari sana, terdapat ruangan menyerupai makam yang dipercaya sebagai tempat menyimpan benda-benda pusaka para wali, seperti keris dan tombak. Semua ini dilakukan demi mencegah penyalahgunaan oleh orang-orang yang berniat buruk.
Di seluruh dinding masjid, dahulu menempel puluhan piring porselen hadiah dari Putri Ong Tien dari Tiongkok—sebagai lambang cintanya kepada Sunan Gunung Jati. Piring-piring ini bukan hanya ornamen, melainkan narasi visual dari hubungan lintas budaya dan sejarah yang kental.
Ada pula kompas tua berbentuk batang tembaga, digunakan untuk menentukan waktu salat berdasarkan bayangan matahari. Kini, waktu salat ditulis pada papan kapur dalam bahasa Arab, mempertahankan nuansa tradisional di era modern.
Namun, tidak semua kisah tentang Masjid Merah berwarna cerah. Seiring waktu, ornamen-ornamen sejarah seperti piring-piring keramik mulai hilang satu per satu—dicongkel, dicuri, dan diperjualbelikan. Ada desas-desus bahwa satu piring bisa setara harga satu rumah, membuat beberapa orang gelap mata.
Sisa-sisa keindahan yang dulu menghiasi masjid kini tinggal retakan. Bahkan beberapa kayu atap sirap—yang konon membawa keberkahan—sering dipungut secara diam-diam oleh pengunjung. Sayangnya, banyak yang justru mendapat kesialan setelah membawanya pulang tanpa izin.
Melindungi Warisan, Menjaga Martabat
Pemerintah Kota Cirebon telah menetapkan Masjid Merah sebagai cagar budaya melalui SK Wali Kota Nomor 19 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Pelanggaran terhadap situs ini dapat dikenai hukuman berat—hingga 15 tahun penjara atau denda miliaran rupiah.
Namun, lebih dari sekadar perlindungan hukum, yang dibutuhkan adalah kesadaran kolektif untuk menjaga warisan ini. Warga berharap setiap pengunjung datang dengan niat baik, menghormati adat, dan menjaga kesucian tempat ini seperti halnya para wali dulu memuliakannya.
Masjid Merah bukan hanya tempat salat—ia adalah cerita tentang dakwah, cinta, keberanian, dan keberagaman. Di dalam keheningannya, ia menyuarakan pesan kuat: bahwa Indonesia dibangun dari perbedaan yang disatukan oleh niat baik dan rasa hormat. Biarlah Masjid Merah terus berdiri megah, menjadi saksi bisu generasi ke generasi yang berziarah pada jati diri bangsanya.