![]() |
Mugaba Banuraja (sumber : google maps/Andri Sopiandi) |
Bandung Barat selama ini identik dengan wisata alam—mulai dari pegunungan hijau, udara sejuk, hingga panorama yang memanjakan mata. Namun, siapa sangka, di balik itu semua tersimpan sebuah destinasi edukasi yang unik, berbeda, sekaligus instagramable. Sebuah bangunan megah berbentuk kapal perang berdiri anggun di tepi Sungai Citarum, seolah mengajak setiap orang untuk mengenal lebih dekat sejarah kemaritiman Indonesia.
Bangunan tersebut adalah Museum Galeri Bahari (Mugaba) Banuraja, sebuah karya monumental yang diresmikan pada 1 September 2018. Museum ini lahir dari gagasan dan dedikasi Laksamana TNI (Purn) Ade Supandi, mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), yang ingin menghadirkan jejak sejarah maritim Indonesia di tanah kelahirannya sendiri, Desa Pangauban, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat.
Jejak Pengabdian Sang Laksamana
Mugaba Banuraja bukan sekadar museum. Kehadirannya adalah simbol cinta seorang putra daerah terhadap tanah kelahiran dan bangsanya. Menurut pengelola museum, Deden Permana, Laksamana Ade Supandi membangun museum ini sebagai sarana edukasi bagi generasi muda agar tidak tercerabut dari akar sejarahnya. Dengan mengenal jejak kemaritiman, mereka diharapkan mampu menjaga jati diri bangsa sekaligus lebih siap menatap masa depan.
“Beliau ingin masyarakat, khususnya anak muda, bisa belajar dari sejarah kehidupan. Dengan begitu, mereka tidak kehilangan identitas sebagai bangsa bahari,” ungkap Deden saat berbincang.
Tak hanya itu, kehadiran museum ini juga diharapkan mampu mengangkat harkat daerah Pangauban melalui potensi wisata edukasi. Harapannya, Mugaba Banuraja bisa menjadi ruang yang mendorong kebangkitan ekonomi kreatif berbasis masyarakat, serta menumbuhkan kembali seni dan budaya lokal.
Menyelami Sejarah di Dalam Kapal
Begitu memasuki museum, pengunjung akan disuguhi beragam koleksi yang memikat. Setiap sudut ruang seakan bercerita tentang perjalanan panjang Laksamana Ade Supandi, mulai dari masa kecil, pendidikan, hingga menjabat sebagai KSAL.
Di lantai pertama, terdapat replika kapal kuno, kapal perang, serta berbagai miniatur alutsista yang dimiliki TNI AL. Sementara itu, lantai kedua menyajikan ruang perpustakaan bagi para pecinta buku. Tak ketinggalan, ada juga Cafe Navy, tempat di mana pengunjung bisa menikmati aneka kuliner sambil memandang indahnya panorama sekitar museum.
Yang paling mencuri perhatian berada di lantai ketiga: anjungan kapal lengkap dengan simulator kapal perang. Pengunjung seolah-olah sedang berada di ruang kendali kapal tempur, sebuah pengalaman edukatif yang jarang ditemukan di destinasi wisata lain.
Daya Tarik dan Tantangan
Sejak dibuka, Mugaba Banuraja sempat ramai dikunjungi wisatawan. Sebelum pandemi, jumlah pengunjung harian bisa mencapai 50–100 orang, dan melonjak hingga 300 orang saat akhir pekan. Namun, kondisi berbeda terjadi setelah pandemi. Kini, jumlah wisatawan menurun drastis, hanya sekitar 20–30 orang per hari, atau 50–150 orang saat akhir pekan.
Selain itu, menurut Deden, dukungan dari pemerintah daerah masih minim. Padahal, akses jalan menuju museum masih kurang memadai dan menjadi salah satu kendala bagi wisatawan. “Kami berharap pemerintah bisa lebih peduli agar museum ini bisa berkembang dan dinikmati lebih banyak orang,” ujarnya penuh harap.
Harapan untuk Masa Depan
Meski menghadapi tantangan, semangat di balik berdirinya Mugaba Banuraja tetap menyala. Laksamana Ade Supandi ingin dedikasi dan pengabdiannya selama di TNI AL dapat diwariskan kepada masyarakat, khususnya generasi muda Jawa Barat. Harapannya, museum ini bisa menjadi ruang inspiratif yang menumbuhkan kembali kecintaan terhadap maritim, serta menjadi destinasi edukasi yang mendukung kemajuan ekonomi kreatif lokal.
Mugaba Banuraja buka setiap hari mulai pukul 08.00–15.00 WIB, dengan jeda istirahat pukul 12.00–13.00 WIB. Bangunannya berdiri gagah sepanjang 45 meter dengan lebar 15 meter—cukup untuk membuat siapa pun merasa sedang berada di atas sebuah kapal sesungguhnya.
Museum ini bukan hanya tentang sejarah, tetapi juga tentang rasa cinta tanah air, dedikasi seorang laksamana kepada bangsanya, dan sebuah ajakan untuk kembali menengok identitas bangsa Indonesia sebagai negeri bahari.