![]() |
Tradisi Ngarak Kepala Kebo Bule Kranggan (sumber : detik.com) |
Di tengah hiruk pikuk kota Bekasi yang dikenal modern dan padat, ada satu sudut yang mampu menghadirkan suasana masa lalu yang begitu kental—Kampung Kranggan di Kecamatan Jatisampurna. Setiap delapan tahun sekali, kampung ini berubah menjadi lautan manusia, penuh warna, tawa, dan doa. Mereka merayakan sebuah ritual sakral yang disebut “Ngarak Kepala Kebo Bule”, sebuah tradisi turun-temurun yang menjadi simbol rasa syukur warga terhadap hasil bumi dan kehidupan.
Yang membuat tradisi ini begitu istimewa adalah waktu pelaksanaannya yang jarang—hanya sekali setiap delapan tahun, bertepatan dengan datangnya Tahun Alif dalam penanggalan Jawa. Momentum ini menjadi momen yang ditunggu-tunggu warga, karena bukan hanya sarat makna spiritual, tetapi juga menjadi pesta budaya besar yang mempertemukan seluruh lapisan masyarakat.
Begitu adzan Jumat berkumandang dan salat usai, suasana kampung langsung berubah. Aroma masakan tradisional menyeruak, tabuhan rebana dan gamelan mulai terdengar, dan barisan warga bersiap dengan pakaian adat khas Kranggan. Semua tampak antusias mengikuti prosesi panjang yang dikenal sebagai Ngarak Kepala Kebo Bule.
Simbol Syukur dalam Warna dan Kebersamaan
Dalam ritual ini, warga membawa berbagai hasil bumi seperti ikan, buah-buahan, daging, kue, hingga nasi lima warna yang disusun rapi di atas rangka bambu beralas daun pisang. Di tengahnya, terdapat kepala kebo bule—kerbau berkulit putih—yang menjadi simbol utama acara. Kepala kebo ini melambangkan kemakmuran, kesucian, dan keseimbangan alam, serta doa agar kampung senantiasa diberi keberkahan dan terhindar dari bencana.
Semua sesaji tersebut kemudian diarak keliling kampung dengan iringan musik tradisional dan seni pencak silat yang menambah semarak suasana. Warga dari berbagai usia—mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua—berjalan bersama dalam barisan panjang penuh semangat.
Dari Perspektif Warga: Tradisi yang Merekatkan Persaudaraan
Menurut Suta Tjamin, tokoh adat setempat, Ngarak Kepala Kebo Bule bukan hanya ritual keagamaan atau adat, tetapi juga sarana memperkuat tali silaturahmi antarwarga. Dalam proses persiapan hingga pelaksanaan, semua bahu-membahu tanpa memandang usia atau status sosial. Nilai gotong royong dan rasa memiliki begitu terasa, menjadikan tradisi ini sebagai simbol persaudaraan dan kebersamaan masyarakat Kranggan.
Sementara Anim Imamudin, salah satu warga, menyebut bahwa tradisi ini adalah “napas budaya” bagi kampung mereka. Meski zaman berubah, warga Kranggan tetap menjaga agar warisan leluhur ini tidak punah, sekaligus menjadi daya tarik wisata budaya yang patut dilestarikan.
Daya Tarik Wisata Budaya yang Mempesona
Dari sudut pandang wisata, Ngarak Kepala Kebo Bule bukan sekadar ritual—melainkan pertunjukan budaya hidup. Warna-warni pakaian adat, aroma makanan khas, hingga tawa riang warga menciptakan atmosfer yang begitu hangat dan autentik. Bagi wisatawan yang menyukai pengalaman budaya lokal, ini adalah momen langka yang tak boleh dilewatkan.
Selain menyaksikan prosesi arak-arakan, pengunjung juga bisa menikmati pertunjukan seni pencak silat, musik tradisional, dan kuliner khas Kranggan yang disajikan dengan cara gotong royong. Tak jarang, wisatawan dari luar Bekasi datang hanya untuk merasakan suasana kampung yang sarat nilai spiritual dan kearifan lokal ini.
Menghidupkan Warisan Leluhur, Menjaga Identitas Daerah
Tradisi Ngarak Kepala Kebo Bule Kranggan Bekasi adalah contoh nyata bagaimana masyarakat bisa menjaga keseimbangan antara modernitas dan budaya. Di tengah derasnya arus globalisasi, warga Kranggan tetap teguh mempertahankan identitas dan nilai leluhur mereka.
Lebih dari sekadar ritual, Ngarak Kepala Kebo Bule adalah pengingat bahwa syukur, kebersamaan, dan cinta terhadap bumi adalah hal-hal yang membuat sebuah komunitas tetap hidup dan bermakna.