Gedung Negara dan Pendopo Purwakarta: Saksi Bisu Sejarah Panjang Kabupaten Purwakarta

Jabar Tourism
3 minute read
0
Pendopo Purwakarta (sumber : google maps/Andrew pribadi)

Di tengah pusat pemerintahan Kabupaten Purwakarta, berdiri dua bangunan bersejarah yang telah melewati berbagai peristiwa penting sejak abad ke-19: Gedung Negara dan Pendopo Kabupaten Purwakarta. Keduanya, dengan luas lebih dari 600 meter persegi, dibangun pada tahun 1857 hingga 1860 berdasarkan arsip yang ditulis tangan oleh Bupati Karawang di Purwakarta, R.A.A. Sastraadhiningrat III (1886-1911).


Pada masa Hindia Belanda, kedua gedung ini sering disebut sebagai Gedung Kabupaten, terutama saat pemerintahan R.A.A. Sastraadhiningrat I (1854-1863). Sejak awal berdirinya, Gedung Negara berfungsi sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Karawang di Purwakarta. Pembangunannya beriringan dengan penetapan Purwakarta sebagai ibu kota baru, di bawah pengawasan Patih R. Tohir Natanegara.


Arsitektur dan Material Lokal

Keunikan Gedung Negara dan Pendopo tidak hanya terletak pada nilai sejarahnya, tetapi juga pada material yang digunakan dalam pembangunannya. Batu kali dan pasirnya berasal dari Sungai Cikao, sementara kapur, bata merah, dan ubin dibuat secara lokal. Gentengnya yang tebal dan kuat bahkan mampu menahan beban manusia tanpa pecah.


Seorang pengusaha Tionghoa, Tio Ahay dari Bongas, adalah sosok di balik produksi genteng keramiknya. Setiap genteng berbobot 2,5 kg, dengan harga 0,03 Nederlandsch Florins per buah—setara dengan 30 Florins untuk 1.000 genteng atau sekitar 2,5 ton.


Bagian atap, pintu, jendela, serta tiang pendopo menggunakan kayu jati berkualitas tinggi yang diambil dari hutan Cibungur, Parakansalam, dan Mangga Besar. Tjong Asih, seorang pemborong keturunan Tionghoa, bertanggung jawab atas pemotongan kayu-kayu jati ini. Balok-balok besar itu kemudian diangkut dengan 10 pasang kerbau menuju alun-alun Purwakarta.


Baksin, seorang pengukir asal Palembang, dipercaya untuk mengukir tiang pendopo. Material lain, seperti kaca dan paku, didatangkan dari Batavia. Sedangkan pembangunan tembok dan struktur bangunan diawasi oleh seorang arsitek Belanda bernama Tuan Baas. Pekerjaan ini melibatkan ratusan pekerja lokal, termasuk pengrajin bata, ubin, dan genteng.


Ketika bangunan ini selesai dibangun, sebuah pesta besar diadakan sebagai bentuk perayaan. Hiburan rakyat seperti ronggeng, adu domba, dan berbagai pertunjukan seni meramaikan alun-alun.


Perjalanan Sejarah: Dari Pusat Pemerintahan ke Markas Militer

Pendopo Purwakarta Tempo Dulu (sumber: disipusda purwakarta)

Sejak didirikan, Gedung Negara dan Pendopo terus menjadi pusat pemerintahan hingga 1 April 1948, saat ibu kota Kabupaten Karawang Timur dipindahkan ke Subang. Setelah itu, gedung ini sempat kosong sebelum akhirnya digunakan sebagai markas tentara dari Teritorium Tentara III/Siliwangi. Markas ini kemudian berubah menjadi Komando Daerah Militer III/Siliwangi, yang menjadi rumah bagi Brigade 23/Siliwangi, Resimen Infanteri 7/Siliwangi, hingga Brigade Infanteri XIV/Mesabarwang.


Saat Kabupaten Purwakarta resmi dibentuk pada 29 Juni 1968, gedung ini kembali menjadi kantor pemerintahan dan dihuni oleh para bupati, dari H.R. Suria Sunarya Ronggowaluyo (1968-1969) hingga Hj. Anne Ratna Mustika, S.E.


Warisan Budaya yang Terjaga

Hingga kini, Gedung Negara dan Pendopo Kabupaten Purwakarta tetap berdiri megah di Jl. Ganda Negara Kaum, Kelurahan Sindangkasih, Kecamatan Purwakarta. Fungsinya sebagai Kantor Bupati dan Wakil Bupati tetap dipertahankan, menjadikannya simbol sejarah yang terus hidup di tengah perkembangan zaman.


Sama seperti dahulu, kemeriahan masih kerap menghiasi alun-alun Purwakarta, sebagaimana kenangan R. Soeria di Radja dalam tulisannya Lebaran di Poerwakarta yang menggambarkan suasana penuh kegembiraan:

"Alun-alun penuh sesak, orang-orang berdandan rapi, mengenakan baju dan kain baru. Berbagai tontonan seperti adu domba, adu babi hutan, serta hiburan malam seperti ronggeng dan pertunjukan topeng meramaikan suasana."


Gedung Negara dan Pendopo bukan hanya bangunan tua yang diam, melainkan saksi bisu perjalanan sejarah Purwakarta, dari masa kolonial hingga era modern. Keberadaannya menjadi bukti bahwa tradisi dan sejarah tetap terjaga di tengah arus perubahan zaman.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)