![]() |
Batik Lokatmala Sukabumi (sumber : pinterest) |
Di balik dinginnya udara pegunungan dan damainya suasana Kota Sukabumi, tersimpan sehelai kain yang tak hanya penuh warna, tapi juga sarat makna. Namanya Batik Lokatmala Sukabumi — sebuah warisan budaya yang tak sekadar mempercantik tubuh, tapi juga menyentuh jiwa. Bukan hanya goresan lilin yang membentuk motifnya, tapi ada cerita, filosofi, dan semangat yang dituangkan dalam tiap helainya. Dan siapa sangka, dari kota kecil yang lebih dikenal dengan mochi-nya, batik ini justru mencuri perhatian hingga ke kancah internasional.
Sukabumi mungkin belum sepopuler Pekalongan atau Solo dalam hal perbatikan. Tapi dari tangan seorang perempuan bernama Fonna Melania, batik khas ini menemukan jati dirinya sendiri. Ia menyebut karyanya Batik Lokatmala Masagi — batik yang tak hanya indah secara visual, tapi juga kuat dalam nilai dan pesan. Ini bukan soal meniru apa yang sudah ada, melainkan merangkai jejak khas Sukabumi dalam bahasa batik yang elegan dan penuh arti. Mari menyelami lebih dalam tentang bagaimana Batik Lokatmala lahir, berkembang, dan kini mulai menembus batas-batas negeri.
Batik Lokatmala: Ketika Filosofi Hidup Disulam di Atas Kain
Lahir dari tangan kreatif seorang perempuan Sukabumi, Fonna Melania — atau akrab disapa Ceu Popon — Batik Lokatmala bukan sekadar hasil dari keterampilan membatik. Ia adalah buah pemikiran, hasil perenungan, serta representasi nilai-nilai hidup masyarakat Sunda yang dituangkan dengan penuh cinta. Salah satu inspirasinya berasal dari ungkapan khas masyarakat Sukabumi: "hirup mah kudu masagi" — hidup harus utuh, seimbang, dan bermanfaat.
Kata “masagi” sendiri berasal dari “pasagi”, yang berarti segi empat sempurna. Simbol ini melambangkan pentingnya menjalani hidup secara seimbang: antara ilmu dunia dan akhirat, antara menjadi pribadi teladan dan bermanfaat bagi sesama. Dalam setiap motif batiknya, Fonna berusaha menerjemahkan filosofi ini dengan cara yang halus namun kuat — seperti bunga Edelweis yang menjadi simbol abadi dari Lokatmala itu sendiri.
Kecintaannya pada batik tak hadir begitu saja. Dari sang nenek, Fonna mengenal nilai luhur kain ini. Namun ia tak berhenti pada nostalgia semata. Ia memilih mendalami dunia batik hingga ke Desa Bakaran di Juwana, Pati, Jawa Tengah — sebuah tempat yang masih menyimpan teknik membatik tua ala Majapahit. Semua ini ia tempuh demi satu tujuan: memahami batik bukan sebagai seni menggambar, tapi sebagai cara bercerita dan merawat akar budaya.
Setiap Motif, Sebuah Cerita
Batik Fonna bukan batik biasa. Lihat saja motif Leungli, yang menceritakan ikan mas sahabat Putri Rangrang, atau Candramawat, seekor kucing kesayangan Nini Anteh. Masing-masing mengandung narasi rakyat yang telah lama hidup dalam dongeng dan memori masyarakat Sunda. Bahkan ketika memilih kendi sebagai salah satu simbol utama, Fonna tak sekadar tertarik bentuknya — ia ingin menggali makna terdalamnya sebagai lambang Sukabumi.
Namun membatik bukanlah proses yang mudah. Setiap simbol harus saling menyatu, baik secara visual maupun makna. Memadukan kendi dengan motif lain, misalnya, perlu pemahaman tentang harmoni simbol. Maka tak heran jika Fonna menyebut, harga batik asli yang tinggi itu pantas — karena yang dibeli bukan sekadar kain, melainkan sebuah proses panjang yang melibatkan hati, pikiran, dan sejarah.
Dari Sukabumi ke Panggung Dunia
Upaya Fonna dan Batik Lokatmala ternyata tak sia-sia. Batik ini telah dipamerkan di berbagai forum, termasuk dalam kerja sama dengan KBRI Islamabad dan University of Agriculture Faisalabad, Pakistan. Pada Februari 2020, batik dari Kota Mochi ini turut meramaikan pameran budaya internasional di Pakistan, bersama produk lokal seperti gula semut D’Kawung dan sajian khas Nusantara lainnya.
Meski begitu, jalan masih panjang. Fonna tak menampik, masih ada anggapan bahwa batik hanyalah produk tekstil biasa. Padahal, dalam sehelai batik terkandung warisan budaya, kerja kolektif, dan semangat pelestarian. Maka lewat Lokatmala, ia ingin membuka mata — bahwa batik adalah cara kita mencintai jati diri bangsa.
Batik Lokatmala adalah cermin dari filosofi Sunda, kreativitas perempuan Sukabumi, dan keteguhan untuk tetap bertahan di tengah arus zaman. Sebab bagi Fonna, membatik adalah cara mencatat sejarah — satu titik lilin, satu langkah menuju abadi.