Menelusuri Jejak Kearifan Lokal di Kampung Adat Cikondang yang Bertahan di Tengah Modernitas

Jabar Tourism
3 minute read
0

Kampung Adat Cikondang (sumber : pinterest)

Jawa Barat tidak hanya dikenal dengan keindahan alamnya yang memikat, tapi juga kaya akan warisan budaya yang masih hidup dan dijaga dengan penuh rasa hormat oleh masyarakatnya. Dari keramaian kota hingga pelosok desa, tradisi dan kearifan lokal terus berpijar, menjadi pengingat tentang akar identitas yang tak boleh luntur oleh zaman. Salah satu permata budaya yang patut disoroti adalah Kampung Adat Cikondang, sebuah kawasan kecil di Kabupaten Bandung yang seolah menjadi "museum hidup" kearifan leluhur.


Di tengah arus modernisasi yang deras, Kampung Adat Cikondang berdiri tegak dengan segala nilai dan tradisi yang masih dijunjung tinggi. Terletak di Kelurahan Lamajang, Kecamatan Pangalengan, kampung ini tidak sekadar menjadi destinasi budaya, tapi juga simbol keteguhan masyarakatnya dalam menjaga peninggalan nenek moyang. Sejak berdiri pada abad ke-17, Cikondang telah melewati berbagai zaman—dan tetap bertahan sebagai saksi hidup nilai-nilai adat yang luhur.


Menurut sang pinisepuh kampung, Abah Ilin Dasyah yang kini telah berusia 87 tahun, sejarah Kampung Cikondang bermula dari perjalanan seorang wali yang menyebarkan ajaran Islam dengan menyusuri hutan-hutan lebat di wilayah tersebut. Dari kisah lisan yang diturunkan, diyakini bahwa kampung ini dibuka oleh sepasang leluhur yang dikenal sebagai Uyut Istri dan Uyut Pameget, yang awalnya berasal dari Cirebon. Mereka membuka hutan dari arah Maruyung hingga berhenti di titik yang kini menjadi Kampung Cikondang.


Namun, perjalanan kampung ini tidak selalu mulus. Pada masa penjajahan Belanda, tepatnya tahun 1942, kawasan ini luluh lantak akibat pembumihangusan yang dilakukan penjajah. Hanya satu rumah yang tersisa dari tragedi tersebut, dan rumah itulah yang hingga kini dijadikan sebagai Rumah Adat Cikondang—simbol ketahanan dan spiritualitas masyarakat.


Filosofi dalam Arsitektur Rumah Adat

Rumah Adat Cikondang (sumber : pinterest)

Rumah adat yang tersisa ini memiliki nama unik: Julang Ngapak. Dengan desain sederhana namun sarat makna, rumah ini dibangun sebagai manifestasi filosofi hidup masyarakat Cikondang. Misalnya, rumah ini hanya memiliki satu pintu—sebuah simbol bahwa manusia hanya memiliki satu tujuan keimanan, yaitu kepada Allah SWT.


Ukuran bangunannya pun tak sembarangan. Panjang rumah 12 meter mewakili 12 bulan dalam setahun, sementara lebar delapan meter melambangkan satu siklus sewindu (delapan tahun). Lima jendela mencerminkan lima rukun Islam, dan sembilan ventilasi menjadi penghormatan kepada sembilan Wali Songo, tokoh penyebar Islam di Nusantara, salah satunya Syekh Syarif Hidayatullah dari Cirebon.


Ritual Sakral di Bulan Muharam

Setiap tanggal 15 Muharam, rumah adat ini menjadi pusat dari ritual budaya dan spiritual yang dilaksanakan warga. Bagi masyarakat Cikondang, hari tersebut bukan hanya awal tahun dalam kalender Islam, tetapi juga momen untuk membersihkan diri dari segala mara bahaya dan sebagai wujud syukur atas limpahan berkah.


Uniknya, persiapan ritual ini sudah dimulai sejak awal bulan Muharam. Ibu-ibu kampung menumbuk padi—baik padi huma, padi sawah, hingga padi kentang—sebagai bagian dari tradisi menyambut ritual. Saat hari H tiba, berbagai hidangan khas seperti nasi tumpeng, nasi kuning, dan olahan dari hasil pertanian disajikan dalam suasana penuh kebersamaan. Tak jarang para tokoh budaya hingga pejabat daerah turut hadir untuk menyaksikan dan menghormati acara ini.


Aturan Adat yang Dijunjung Tinggi

Memasuki kawasan Rumah Adat Cikondang tidak bisa sembarangan. Ada aturan adat yang harus dipatuhi dengan khidmat. Pengunjung diwajibkan melangkahkan kaki kanan saat masuk dan kaki kiri saat keluar. Ucapan salam serta bacaan basmalah juga menjadi bagian tak terpisahkan sebelum melangkah ke dalam area sakral ini. Bagi perempuan yang sedang menstruasi, dilarang masuk sebagai bentuk penghormatan terhadap kesucian tempat.


Selain itu, terdapat hari-hari tertentu yang dianggap kurang baik untuk berkunjung ke dalam rumah adat, seperti Jumat, Sabtu, dan Selasa. Pada hari-hari tersebut, biasanya warga melakukan ziarah ke makam leluhur, yakni Eyang Istri dan Eyang Pameget.


Menjelang pelaksanaan ritual adat, suasana kampung terasa sangat hidup. Warga terlihat sibuk mempersiapkan hasil tani, buah-buahan seperti pisang menumpuk di Bale Paseban, tempat berkumpul dan bermusyawarah. Semangat gotong royong terasa sangat kental, memperlihatkan betapa tradisi bukan hanya sekadar seremonial, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari.


Kampung Adat Cikondang bukan hanya destinasi wisata budaya, tetapi juga ruang kontemplasi untuk melihat bagaimana akar sejarah dan tradisi masih dapat hidup di tengah dunia yang terus berubah. Bagi siapa pun yang ingin menyelami nilai-nilai luhur Sunda, Cikondang adalah tempat yang tepat untuk memulainya—dengan hati terbuka dan rasa hormat yang dalam. 

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)
June 21, 2025