![]() |
Tapai Ketan Khas Kuningan (sumber : indonesiakaya) |
Kabupaten Kuningan di Jawa Barat tak hanya memesona dengan panorama alamnya yang hijau dan udara sejuk dari kaki Gunung Ciremai, tapi juga menyimpan kekayaan kuliner yang menggugah selera. Dari desa ke desa, aroma tradisi begitu lekat dalam setiap masakan, seolah mengajak siapa pun yang datang untuk mencicipi jejak sejarah yang tersembunyi dalam setiap gigitan. Di antara sekian banyak sajian khasnya, ada satu kudapan yang kerap mencuri perhatian para pencinta kuliner lokal: tapai ketan. Kudapan ini bukan hanya soal rasa, tetapi juga soal warisan budaya yang masih terjaga hingga kini.
Tapai ketan adalah bukti bahwa kesederhanaan bisa menjelma menjadi kenikmatan yang istimewa. Dibalut daun, berwarna hijau alami, dan menyuguhkan paduan rasa manis serta asam yang khas, tapai ketan tak pernah gagal memikat siapa pun yang mencobanya. Kudapan ini tak hanya jadi sajian rumahan, tapi juga mulai banyak dicari sebagai buah tangan khas Kuningan. Dari balik kelezatannya, ternyata tersimpan cerita panjang tentang proses, tradisi, dan manfaat kesehatan yang menjadikan tapai ketan lebih dari sekadar camilan.
Tapai Ketan Kudapan Fermentasi yang Jadi Warisan Rasa
![]() |
Tapai Ketan dalam Kemasan Ember (sumber : indonesiakaya) |
Tapai adalah hasil fermentasi yang sejak lama dikenal dalam tradisi kuliner Indonesia. Namun di Kuningan, Jawa Barat, tapai memiliki tempat istimewa melalui kreasi bernama tapai ketan. Makanan ini memadukan ketan putih dengan proses fermentasi khas yang menghasilkan rasa unik: sedikit asam namun tetap manis, segar namun mengenyangkan. Di lidah, sensasinya seolah mengajak kita menelusuri lorong waktu—mengingatkan akan tradisi, kebersamaan, dan cita rasa masa lalu.
Sejarah tapai ketan mengakar kuat di Desa Cibereum, Kecamatan Cibingbin. Awalnya, kudapan ini hanya muncul di momen-momen besar keagamaan, terutama menjelang Idul Fitri. Namun karena rasanya yang digemari banyak orang, kini tapai ketan telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Kuningan. Tak heran jika banyak pedagang menjajakan kudapan ini di sudut-sudut pasar tradisional hingga festival kuliner.
Proses Tradisional dengan Sentuhan Alam
Meskipun tampilannya terlihat sederhana, membuat tapai ketan membutuhkan ketelatenan. Pertama, beras ketan putih dikukus lalu dicampur dengan ragi tapai. Setelah itu, adonan ini dibungkus dengan daun jambu air—bukan hanya untuk menjaga kesegarannya, tapi juga menambah aroma alami. Pewarna hijaunya pun bukan sembarangan; diperoleh dari daun katuk yang ditumbuk dan disaring, menghasilkan warna alami yang aman dikonsumsi.
Untuk fermentasi, masyarakat Kuningan biasa menggunakan ember hitam yang tertutup rapat agar udara tak masuk. Proses ini bisa memakan waktu antara tiga hari hingga satu minggu, tergantung pada suhu dan kelembaban udara. Selama proses ini, kandungan gizi dalam ketan mengalami perubahan, terutama peningkatan vitamin B1 yang baik untuk sistem saraf dan pencernaan.
Lebih dari sekadar makanan ringan, tapai ketan juga dikenal memiliki sejumlah manfaat kesehatan. Kandungan vitamin B1 hasil fermentasi dipercaya membantu menjaga sistem saraf dan otot tetap prima. Beberapa warga bahkan menyebut tapai ketan dapat membantu meredakan pegal-pegal, menjaga kelembapan kulit, hingga membantu menurunkan kadar gula darah secara alami.
Kini, tapai ketan bukan hanya milik masyarakat Kuningan, tapi sudah mulai dikenal lebih luas sebagai ikon kuliner tradisional yang layak dijaga keberadaannya. Kehadirannya mengingatkan kita bahwa rasa otentik tak akan pernah lekang oleh zaman—terutama jika dibalut dengan cinta, tradisi, dan kearifan lokal.