![]() |
Gedung Juang Majalengka (sumber : pinterest) |
Di tengah denyut kehidupan Majalengka yang terus berlari ke arah modernitas, berdiri sebuah bangunan tua yang seolah menolak dilupakan. Dindingnya tebal, catnya mulai pudar dimakan usia, namun auranya tetap megah. Itulah Gedung Juang — sebuah saksi bisu dari peristiwa-peristiwa penting yang membentuk wajah Majalengka dari masa kolonial hingga kemerdekaan. Bangunan ini bukan sekadar tua, tapi juga penuh cerita. Di balik temboknya, tersimpan memori panjang tentang kuasa, perjuangan, dan perubahan zaman yang tak semua orang tahu.
Terletak di jantung kota, tepat di samping Gedung DPRD Majalengka dan menghadap ke Alun-alun, Gedung Juang dulunya adalah pusat pemerintahan kolonial. Kini, ia menjadi simbol sejarah yang pelan-pelan kembali dibangkitkan oleh sekelompok pecinta budaya dan sejarah lokal.
Gedung yang kini dikenal sebagai Gedung Juang dulunya merupakan kantor resmi Asisten Residen Belanda. Menurut penelusuran Nana Rohmana—anggota komunitas pelestari sejarah Grup Madjalengka Baheula (GRUMALA)—bangunan ini pertama kali berdiri pada tahun 1860, berbarengan dengan pembentukan wilayah administratif bernama Afdweling. Fungsinya saat itu adalah untuk memantau kawasan Majalengka dan daerah sekitarnya.
Asisten Residen pertama yang menempati gedung ini adalah seorang Belanda bernama Meneer J.J. Meider. Ia bekerja di bawah Residen Cirebon saat itu, H. Klein Van der Poll. Sementara, jabatan Bupati Majalengka kala itu diemban oleh Kanjeng Raden Adipati Aria (RAA) Bahudenda.
Tak hanya Meider, ada pula beberapa nama pejabat kolonial lain yang pernah menjabat di sini—seperti Wijmallen, Van Der Boer, dan M. Scheltemma. Mereka adalah wajah-wajah kekuasaan Belanda yang berperan dalam membentuk sistem pemerintahan kolonial di tanah Majalengka.
Menariknya, pada era 1920-an, kantor Asisten Residen ini sempat kosong akibat penyatuan wilayah Majalengka ke dalam Afdelling Indramayu. Namun pada tahun 1930, M. Scheltemma kembali ditugaskan untuk menjabat di Majalengka, dibantu oleh sejumlah Patih Afdelling. Salah satu yang tercatat paling lama menjabat adalah Raden Mas Rangga Djajoesman.
Kantor para Patih ini dulu terletak di sebelah timur kantor Asisten Residen—dekat dengan lokasi SPBU yang kini ramai dikunjungi warga. Sementara itu, rumah dinasnya berdiri di atas lahan yang sempat beralih fungsi menjadi bioskop legendaris Galaxy Theatre, dan kini hanya menyisakan sebidang tanah kosong.
Dari Masa Pendudukan hingga Kemerdekaan
Ketika Jepang menduduki Indonesia, hingga masa-masa pergolakan kemerdekaan—termasuk agresi militer Belanda pertama dan kedua—fungsi gedung ini sempat beberapa kali berubah. Ia pernah menjadi markas Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) tahun 1945, kemudian beralih ke Komando Militer Daerah (KMD), dan akhirnya sempat menjadi kantor Kodim 314 sebelum dipindahkan ke Tonjong dan menjadi Kodim 0617.
Kini, bangunan yang dulunya lambang kekuasaan kolonial itu bertransformasi menjadi tempat yang lebih membumi: Gedung Juang. Fungsinya bukan lagi sebagai pusat kendali pemerintahan, melainkan sebagai markas organisasi para veteran (PEPABRI) dan Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-POLRI (FKPPI) Majalengka.
Ada harapan baru yang tumbuh di dalam dinding tua Gedung Juang. GRUMALA, melalui dukungan dari Dewan Kesenian dan Kebudayaan Majalengka (DEKKMA), kini berkantor di salah satu ruangannya. Atas izin dari PEPABRI Majalengka, mereka diberi kepercayaan untuk merawat dan menghidupkan kembali ruh sejarah gedung ini.
Lebih dari sekadar bangunan, Gedung Juang adalah simbol perjalanan panjang Kabupaten Majalengka. Ia adalah pengingat bahwa sejarah tak selalu berada di buku pelajaran, kadang ia diam—berdiri menunggu—di sudut kota yang kian sibuk. Tinggal bagaimana kita memilih: membiarkannya lapuk dan terlupa, atau menjaga agar kisah-kisah di dalamnya tetap hidup untuk generasi berikutnya.