Mangga Gedong Gincu: Si Emas Merah dari Pekarangan Indramayu yang Menguasai Pasar Kota

Jabar Tourism
0

Mangga Gedong Gincu (sumber : facebook/Shu She)

Jika ada buah yang lekat dengan nama Indramayu, maka mangga adalah jawabannya. Dari kabupaten yang terletak di pesisir utara Jawa Barat ini, beragam jenis mangga tumbuh subur dan mewarnai pasar buah di berbagai kota besar Indonesia. Di antara sekian jenis, Gedong Gincu adalah primadona. Warnanya yang menggoda, rasanya yang manis berpadu asam segar, serta aromanya yang khas membuatnya menempati posisi istimewa — baik di hati konsumen maupun dari segi harga.


Menariknya, meskipun Gedong Gincu menjadi komoditas unggulan, mangga-mangga ini justru tidak berasal dari kebun besar yang dikelola secara intensif. Sebaliknya, pohon-pohon mangga itu tumbuh di pekarangan rumah warga, menyatu dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Indramayu.


“Di sini, hampir setiap rumah punya tiga sampai lima pohon mangga. Terutama di Kecamatan Arahan dan sekitarnya, jumlahnya bisa lebih banyak lagi. Jadi saat musim panen datang, pasar akan dipenuhi mangga,” tutur Acong Asrori, tokoh masyarakat Indramayu yang dikenal luas sebagai penggiat pertanian mangga.


Kontrak Pohon, Bisnis Mangga Ala Indramayu

Fenomena yang cukup unik dan menjadi roda penggerak utama distribusi mangga adalah sistem kontrak pohon. Dalam sistem ini, para pedagang membeli hak atas pohon mangga milik warga dengan kisaran harga Rp1-2 juta per pohon per tahun. Setelah itu, segala bentuk perawatan dan pengambilan hasil menjadi tanggung jawab pihak penyewa.


Namun, sistem ini tidak sepenuhnya tanpa masalah. Menurut Acong, praktik-praktik pertanian yang cenderung mengejar hasil tinggi sering menyebabkan penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan. Bahkan zat pengatur tumbuh pun digunakan secara intensif. “Jangka pendek hasilnya bagus, tapi dalam jangka panjang bisa berdampak negatif. Produktivitas bisa anjlok di musim berikutnya,” ujar Acong.


Selain itu, karena buah dikumpulkan dari begitu banyak pohon dan petani, standar kualitas menjadi sulit dijaga. Ini menjadi tantangan tersendiri ketika masuk ke pasar ekspor, yang menuntut keseragaman mutu dan tampilan. “Petani di sini bukan petani mangga murni. Mereka utamanya menanam padi dan palawija. Pohon mangga hanya bagian dari pekarangan,” tambahnya.


Meski begitu, mangga Gedong Gincu dari Indramayu tetap memiliki pasar luar negeri. Beberapa perusahaan, salah satunya dari Cirebon, telah berhasil mengekspor mangga ini ke mancanegara. Sebagian besar buah yang diekspor berasal dari Indramayu, membuktikan bahwa meski berasal dari pekarangan, kualitasnya tetap bersaing.


Rantai distribusi mangga dari Indramayu ke pasar kota-kota besar di Indonesia terbilang panjang. Dari para penyewa pohon, buah akan dikumpulkan lalu dijual ke pedagang besar. Pedagang inilah yang kemudian mendistribusikannya ke pasar tradisional maupun modern di berbagai kota.


Di awal musim panen, harga dari tingkat penyewa ke pedagang besar masih tergolong stabil, berkisar antara Rp15.000–20.000 per kilogram. Namun saat panen raya tiba, harga bisa anjlok drastis hingga Rp7.000 per kilogram. “Kadang pengontrak bisa rugi besar, apalagi kalau tahun sebelumnya pohon dipaksa produksi terlalu banyak,” ujar Acong.


Padahal, di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, hingga Surabaya, harga Gedong Gincu tetap stabil di atas Rp30.000 per kilogram. Celakanya, penentu harga di tingkat produsen tetap berada di tangan pedagang besar antar kota, bukan di petani atau pemilik pohon.


Mangga Gedong Gincu mungkin hanya buah biasa di mata sebagian orang. Namun di Indramayu, ia adalah denyut nadi ekonomi yang mengalir dari halaman rumah ke pusat-pusat pasar besar di Indonesia. Di balik rasanya yang manis, tersimpan cerita tentang sistem pertanian unik, ketangguhan petani pekarangan, dan dinamika pasar yang kerap tak berpihak pada produsen.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)