Lisung Ngamuk: Kesenian Ikonik yang Bangkit dari Pesantren di Sukabumi

Jabar Tourism
0

Lisung Ngamuk (sumber : Siti Fatimah)

Ketika berbicara soal destinasi wisata budaya di Jawa Barat, Sukabumi mungkin belum sering disebut di urutan pertama. Namun siapa sangka, di balik nuansa religius dan asrinya kota ini, tersimpan sebuah warisan budaya yang unik dan penuh makna—Lisung Ngamuk, sebuah kesenian tradisional Sunda yang tak hanya menghibur, tapi juga sarat nilai sejarah dan filosofi kehidupan.


Lisung, atau dalam istilah Sunda dikenal juga sebagai lesung, awalnya hanyalah alat kayu besar untuk menumbuk gabah menjadi beras. Tapi di tangan para santri Pondok Pesantren Dzikir Al-Fath, lisung berubah fungsi menjadi instrumen seni pertunjukan yang luar biasa. Dalam aksi yang dinamakan Ngagotong Lisung Ngamuk, empat orang santri dengan kekuatan fisik dan mental yang terlatih memanggul lisung seberat 70 kilogram, diiringi tabuhan gamelan yang membangkitkan semangat.


Bukan hanya soal kekuatan. Kesenian ini menyatukan unsur budaya, spiritualitas, hingga nilai-nilai kebangsaan yang dalam. Maka tak heran jika setiap pertunjukannya selalu berhasil mencuri perhatian para penonton.


Bangkit dari Lintasan Sejarah Sunda

Lisung Ngamuk sejatinya adalah seni tradisi tua masyarakat Sunda yang sempat hilang dari peradaban selama ratusan tahun. Berkat inisiatif KH Muhammad Fajar Laksana, pimpinan Ponpes Dzikir Al-Fath, kesenian ini dibangkitkan kembali dengan sentuhan nilai-nilai pesantren. Bahkan, Ngagotong Lisung Ngamuk kini telah resmi terdaftar sebagai Kekayaan Intelektual di Kemenkumham RI.


Apa yang membuatnya begitu istimewa? Jawabannya ada pada filosofi mendalam yang tertanam di dalam lisung itu sendiri. Berdasarkan Kitab Suwasit yang tersimpan di Museum Prabu Siliwangi Kota Sukabumi, lisung pertama kali dibuat oleh Prabu Siliwangi dari kayu jati dengan tiga lubang: di depan, tengah, dan belakang—masing-masing melambangkan pemimpin, Tuhan, dan rakyat. Ketiganya harus bersatu untuk menciptakan negara yang kuat dan harmonis.


Ki Lengser, Aturan, dan Empat Pilar Bangsa

Dalam setiap pementasan, Lisung Ngamuk juga diiringi oleh kehadiran Ki Lengser, tokoh khas dalam budaya Sunda yang mengenakan pakaian adat dan membawa tongkat. Tongkat tersebut melambangkan halu atau lulumpang—simbol alat menumbuk yang menggambarkan arah dan prinsip kepemimpinan. Tali pengikat lisung? Itu bukan sekadar tali, tapi representasi aturan dan hukum.


Sementara keempat orang santri yang memanggul lisung menggambarkan empat pilar utama bangsa: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Pesan moralnya jelas: pemimpin yang baik harus berjalan dalam koridor hukum dan bersinergi dengan rakyat serta nilai-nilai ketuhanan.


Sukabumi: Bukan Sekadar Alam, Tapi Juga Panggung Budaya

Jika selama ini wisatawan datang ke Sukabumi untuk menikmati alam seperti Curug Sawer atau Situ Gunung Suspension Bridge, kini saatnya memasukkan wisata budaya sebagai destinasi baru. Pertunjukan Lisung Ngamuk tak hanya akan memberi pengalaman visual yang berkesan, tapi juga memperkaya wawasan tentang betapa dalam dan kayanya warisan budaya Sunda.


Kesenian ini biasanya dipentaskan dalam acara-acara besar pesantren atau peringatan hari-hari nasional, tapi tak menutup kemungkinan untuk hadir dalam paket wisata budaya yang bisa dinikmati oleh pelajar, wisatawan domestik, hingga mancanegara.


Yuk, Jelajahi Sukabumi dengan Perspektif Baru!

Wisata ke Jawa Barat tak melulu soal pemandangan alam. Lewat Lisung Ngamuk, Sukabumi memperlihatkan sisi lain dari kekayaan budayanya yang spiritual, edukatif, dan tentunya sangat Instagramable. Kalau kamu mencari wisata yang berbeda—yang bukan hanya menyenangkan tapi juga menginspirasi—Lisung Ngamuk adalah jawabannya.


Jadi, saat berkunjung ke Sukabumi, sempatkan datang ke Pondok Pesantren Dzikir Al-Fath. Saksikan langsung bagaimana tradisi lama ini dihidupkan kembali dengan semangat zaman sekarang.


Jelajahi budaya. Resapi makna. Lestarikan warisan. Hanya di Jawa Barat!

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)