Bandung tidak hanya dikenal dengan kesejukan alam dan kreativitas warganya, tetapi juga menyimpan sejarah panjang tentang perjuangan dan kepedulian terhadap kehidupan satwa. Salah satu ikon yang masih bertahan hingga kini adalah Kebun Binatang Bandung. Di balik kemegahannya hari ini, taman satwa ini menyimpan kisah perjuangan seorang tokoh lokal, R. Ema Bratakoesoema, yang gigih menjaga warisan tersebut di tengah pusaran sejarah dan konflik.
Awalnya, Kebun Binatang Bandung didirikan pada tahun 1933 oleh seorang Belanda bernama W.H. Hoogland. Ia bersama komunitas pecinta satwa dari negerinya merintis tempat ini dengan nama Bandoengsche Zoologich Park (BZP). Tidak hanya orang Belanda, sejumlah warga pribumi juga ikut berkontribusi dalam pembangunan taman satwa ini—salah satunya Ema Bratakoesoema. Pendirian BZP pun mendapat pengakuan resmi dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda melalui surat keputusan pada 12 April 1933.
Namun masa kejayaan BZP tak berlangsung lama. Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942, para pejabat Belanda termasuk Hoogland ditahan sebagai tawanan perang. Di tengah kekosongan kepemimpinan tersebut, Ema mengambil alih pengelolaan kebun binatang.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, situasi politik masih jauh dari stabil. Wilayah Bandung pun kembali diduduki oleh Belanda di bagian utara, sedangkan Ema dan para pejuang berada di selatan. Kondisi ini membuat kebun binatang tak terurus. Tapi Ema tak tinggal diam. Dengan segala keterbatasan, ia mengutus pasukan gerilyawan untuk menyusup ke utara dan memantau keadaan satwa yang tertinggal.
Peristiwa Bandung Lautan Api pada Maret 1946 makin memperparah kondisi BZP. Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer I dan II, Ema yang sudah menjadi pejabat daerah (wethouder) tetap menyempatkan diri menyelamatkan satwa-satwa yang tersisa. Ia sadar bahwa menjaga kebun binatang bukan hanya soal pelestarian fauna, tapi juga bagian dari menjaga identitas bangsa yang sedang berjuang.
Pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) dan pembentukan Republik Indonesia Serikat tahun 1950, Hoogland dan beberapa koleganya kembali ke Bandung pada 1956. Mereka mendapati kondisi kebun binatang dalam keadaan rusak parah. Kandang-kandang hancur, taman berubah menjadi semak belukar, dan hanya sedikit satwa yang berhasil diselamatkan.
Melihat situasi tersebut, Hoogland akhirnya sepakat dengan Ema untuk membubarkan BZP. Dari hasil diskusi, disepakati pembentukan lembaga baru yang lebih relevan dengan semangat zaman. Maka, pada 22 Februari 1957, lahirlah Yayasan Margasatwa Tamansari—cikal bakal dari Kebun Binatang Bandung yang kita kenal saat ini. Menariknya, Ema tetap menghormati Hoogland dengan menunjuknya sebagai ketua yayasan sebelum akhirnya Hoogland kembali ke Belanda di akhir tahun yang sama.
Meskipun sudah memiliki badan hukum baru, tantangan Ema belum usai. Kala itu, kondisi ekonomi Indonesia belum stabil. Fasilitas rusak berat, dan pengelolaan satwa tidak ditangani oleh tenaga profesional. Banyak pekerja yang direkrut bukan karena keahlian, melainkan karena niat dan kemauan untuk merawat hewan serta memperbaiki lingkungan kebun binatang yang nyaris menjadi hutan.
Namun Ema tak menyerah. Dengan segala keterbatasan, ia menghidupkan kembali taman satwa tersebut hingga menjadi destinasi favorit masyarakat. Setelah wafat pada tahun 1984, kepemimpinan Yayasan Margasatwa Tamansari dilanjutkan oleh para penerusnya. Hingga kini, Kebun Binatang Bandung tetap menjadi salah satu tujuan wisata yang digemari, bukan hanya oleh warga lokal, tetapi juga wisatawan dari luar kota bahkan mancanegara.