Jejak Sejarah Gedung SMAN 3 dan 5 Bandung: Dari Sekolah Para Ningrat Hingga Ikon Pendidikan

Jabar Tourism
0

SMAN 3 Bandung (sumber ; google maps/Azka. F)

Di jantung Kota Bandung, tepatnya di Jalan Belitung, berdiri megah sebuah bangunan bersejarah yang kini menaungi dua sekolah favorit: SMA Negeri 3 dan SMA Negeri 5 Bandung. Gedung ini bukan sekadar tempat belajar, tetapi juga saksi perjalanan panjang dunia pendidikan sejak era kolonial hingga kini. Tak heran jika banyak yang menyebutnya sebagai sekolah “para ningrat”, karena dari sinilah lahir berbagai tokoh penting, bahkan salah satunya adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX.


Bangunan bergaya arsitektur Eropa itu pertama kali berdiri pada tahun 1916 di atas lahan seluas lebih dari 14 ribu meter persegi. Sang arsitek, C.P. Wolff Schoemaker, bukanlah nama asing di Bandung. Ia dikenal sebagai sosok yang merancang banyak bangunan ikonik, sehingga wajar bila gedung SMAN 3 dan 5 memiliki sentuhan klasik yang tetap kokoh hingga lebih dari satu abad kemudian. Awalnya, gedung ini difungsikan sebagai Hoogere Burgerschool te Bandoeng (HBS), sebuah sekolah elit dengan masa studi lima tahun yang diperuntukkan bagi kalangan priyayi dan anak pejabat Belanda.


Namun, perjalanan bangunan ini tidak selalu berjalan mulus. Pada masa pendudukan Jepang (1942–1945), fungsinya sempat beralih menjadi markas tentara Kempetai. Dari ruang kelas yang biasanya dipenuhi deretan meja belajar, berubah menjadi ruang strategi perang. Setelah Jepang angkat kaki, barulah gedung ini kembali ke fungsi awalnya, meski dengan wajah baru.


Tahun 1947 hingga 1952, bangunan di Jalan Belitung digunakan sebagai sekolah Voortgezer Hoger Onderwys (VHO) di bawah pimpinan Buchresen. Menariknya, ada perbedaan penggunaan waktu: pagi hari untuk siswa Belanda, sementara siang harinya menjadi milik pelajar Indonesia. Situasi ini menggambarkan betapa pendidikan kala itu masih kental dengan sekat sosial.


Memasuki tahun 1950, sistem sekolah berubah lagi. VHO yang menggunakan bahasa Indonesia bertransformasi menjadi SMA Negeri 1 B/C, sedangkan VHO berbahasa Belanda menjadi SMA Negeri 2 B/C. Saat itu, Bandung baru memiliki tiga SMA Negeri: SMAN 1 dan SMAN 2 yang menempati gedung di Jalan Belitung, serta SMAN 3 A/B yang merupakan eks SMA Parki. Dari sinilah kemudian lahir SMAN 1 Bandung dan SMAN 4 Bandung.


Pergulatan nomenklatur sekolah terus berlanjut hingga 1956, ketika jumlah SMA Negeri di Bandung bertambah menjadi enam. Pada tahun 1966, terjadi penataan kembali: SMAN 1 dipindahkan ke Jalan Ir. H. Juanda, sementara SMAN 4 menempati gedung di Jalan Gardujati. SMAN 2 pun bergeser ke Jalan Cihampelas, dan SMAN 6 ke Jalan Pasir Kaliki. Sementara itu, bangunan di Jalan Belitung akhirnya tetap dihuni oleh SMAN 3 dan SMAN 5, sebagaimana kita kenal sekarang.


Selain sekolah, kawasan ini juga menyimpan jejak sejarah lain yang tak kalah menarik. Tepat di sebelah gedung SMAN 3 dan 5, terdapat kolam renang peninggalan Belanda bernama Tirtamerta atau yang dulu dikenal sebagai Pemandian Centrum, dibangun pada 1920. Lokasi ini menambah nilai historis kawasan, menjadikannya tak hanya pusat pendidikan, tetapi juga bagian penting dari warisan arsitektur Eropa di Kota Kembang.


Kini, lebih dari seratus tahun sejak pertama kali didirikan, bangunan SMAN 3 dan 5 masih berdiri kokoh dengan nuansa klasiknya. Setiap sudutnya seakan menyimpan cerita, dari masa kolonial, pendudukan Jepang, hingga dinamika pendidikan Indonesia setelah merdeka. Bagi para pelajar yang menimba ilmu di sini, gedung ini bukan hanya ruang kelas, melainkan juga cermin perjalanan sejarah bangsa.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)