Sawo Sukatali khas Sumedang (sumber : inilah sumedang) |
Jika suatu hari Anda berkesempatan singgah ke Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang, cobalah ambil jalur Situraja. Tepat di sekitar Balai Desa Sukatali, Kecamatan Situraja, Anda akan menjumpai deretan kios sederhana yang berjajar rapi di kiri-kanan jalan. Dari balik kios itulah aroma segar buah sawo menyeruak, seolah mengundang siapa saja untuk berhenti sejenak dan mencicipinya.
Buah berkulit cokelat dengan daging lembut ini memang jadi ikon khas Desa Sukatali. Sawo Sukatali bukan sekadar buah, melainkan denyut kehidupan warga setempat. Menurut cerita para pedagang, hampir 90 persen masyarakat desa ini menggantungkan penghidupannya dari menanam dan menjual sawo. Tidak heran jika suasana desa begitu lekat dengan aktivitas perkebunan, mulai dari petani hingga pemilik kios yang menjaga alur distribusi.
“Semua orang di sini hidup dari sawo. Dari menanam sampai menjualnya,” tutur Tayu (51), salah seorang pedagang yang kiosnya berdiri tepat di seberang Kantor Desa Sukatali.
Sawo yang Tumbuh Manis di Tanah Tropis
Secara umum, sawo memang tanaman yang mudah tumbuh di iklim tropis seperti Indonesia. Konon, pohon sawo berasal dari Amerika Tengah. Namun di Sukatali, rasanya punya ciri khas tersendiri. Teksturnya empuk, manisnya bertahan lama di lidah, dan itulah yang membuatnya berbeda dengan sawo dari daerah lain.
Meski begitu, Tayu mengakui perubahan iklim ikut memengaruhi hasil panen. “Biasanya panen besar itu Februari dan Agustus. Tapi sekarang jumlahnya agak berkurang, mungkin karena cuaca makin panas,” ujarnya.
Kehadiran Waduk Jatigede pun membawa dua sisi. Di satu sisi, meningkatnya kunjungan wisatawan membuat kios sawo semakin ramai disambangi. Namun di sisi lain, perubahan suhu di sekitar waduk juga ikut berdampak pada produktivitas panen.
Rasa Sawo Sukatali yang Bikin Rindu
Sawo Sukatali umumnya dijual seharga Rp20 ribu per kilogram. Meski terlihat biasa, cita rasanya mampu menorehkan kesan mendalam. Berbeda dengan sawo Manila atau varietas lain yang ditanam di Jawa Barat, manisnya sawo Sukatali terasa lebih panjang ketika dicecap.
Saat mencoba membandingkan, Tayu membelah sawo dari luar daerah menjadi empat bagian. Hasilnya? Manisnya memang ada, tapi cepat sekali hilang dari lidah, berbeda jauh dengan sawo Sukatali yang rasa legitnya masih terasa bahkan setelah beberapa detik.
“Kalau bukan musim panen, kami datangkan sawo dari luar. Tapi selain rasanya beda, harganya juga lebih mahal karena ada ongkos kirim. Kalau dari petani lokal sini jelas lebih murah,” tambahnya.
Oleh-oleh Khas Desa Sukatali Sumedang
Tidak hanya sawo, kios-kios di Sukatali juga menawarkan beragam hasil bumi lainnya. Tayu misalnya, kerap menambah variasi dagangan dengan alpukat, mangga, bahkan produk UMKM seperti kue dan camilan khas. Sesekali, jika musim manggis tiba, buah segar berwarna ungu itu pun ikut meramaikan rak dagangannya.
“Semua ini hasil petani Sukatali juga. Jadi apa pun yang dibawa pulang, semuanya bisa jadi oleh-oleh khas dari sini,” ujarnya sambil tersenyum.
Setiap akhir pekan, terutama Sabtu dan Minggu, kios Tayu bisa menjual hingga 100 kilogram sawo. Sedangkan di hari biasa, rata-rata penjualan sekitar 30 kilogram. Kios yang ia rintis sejak tahun 2005 itu seolah menjadi saksi perjalanan panjang masyarakat Sukatali yang setia menjaga tradisi bertani sawo.
Bagi wisatawan yang pulang dari Waduk Jatigede, mampir ke kios buah di Sukatali adalah pengalaman yang tak boleh dilewatkan. Selain bisa membawa pulang buah sawo yang manis dan empuk, setiap gigitan juga terasa seperti bagian dari kisah panjang warga desa yang hidup berdampingan dengan tanah, pohon, dan hasil panennya.