![]() |
Kesenian Rudat Garut (sumber : youtube/Arin Amaria) |
Di tengah geliat wisata alam Garut yang terkenal dengan pantai dan pegunungan, terselip satu pesona budaya yang tak kalah memikat: Rudat. Tarian khas pesantren ini lahir sebagai media dakwah Islam, namun berkembang menjadi pertunjukan seni yang memadukan gerak silat, lantunan syair religius, dan irama tabuhan terebang (rebana).
Nama Rudat sendiri diyakini berasal dari bahasa Arab raudatun, yang berarti “taman bunga” — sebuah kiasan indah untuk menggambarkan harmoni gerak dan musik yang mekar di atas panggung. Dulu, hampir setiap perayaan Maulid Nabi atau Isra Mi’raj di kampung-kampung Garut selalu diwarnai oleh dentuman terebang dan derap langkah penari Rudat.
Dari Padepokan ke Panggung Wisata
Rudat bukan sekadar tari hiburan. Di balik gerakannya yang gagah, tersimpan filosofi pencak silat sebagai simbol keteguhan iman dan keberanian. Penarinya sebagian besar adalah santri, yang tak hanya lihai dalam bela diri, tetapi juga hafal syair-syair pujian untuk Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Kerap kali, pementasan Rudat dibumbui atraksi debus yang memacu adrenalin: menjejak pecahan kaca, menyemburkan api, hingga memotong lidah. Kombinasi inilah yang membuat Rudat bukan hanya tontonan, tapi juga pengalaman yang membekas di hati penontonnya.
Menghidupkan Kembali yang Hampir Padam
Sayangnya, seiring waktu, Rudat mulai jarang dijumpai. Minimnya regenerasi membuat kesenian ini hanya bertahan di beberapa komunitas di Pameungpeuk dan desa-desa sekitarnya. Namun, harapan belum padam. Beberapa daerah di luar Garut, seperti Desa Sindang di Kabupaten Tegal, justru mulai menghidupkan kembali tradisi Rudat melalui program revitalisasi dan dokumentasi gerak tari. Langkah ini menjadi inspirasi untuk menghadirkan Rudat ke panggung yang lebih luas: dunia pariwisata.
Festival Rudat: Atraksi Budaya yang Layak Masuk Kalender Wisata
Bayangkan sebuah festival yang memadukan parade Rudat dari berbagai daerah, lomba tabuh terebang, workshop pencak silat, hingga bazar kuliner khas pesantren. Penonton tidak hanya menikmati pertunjukan, tetapi juga bisa belajar gerak dasar Rudat, mencoba memukul terebang, atau mempelajari sejarahnya melalui pameran foto dan arsip.
Festival ini dapat dihelat di alun-alun Garut, Pameungpeuk, atau lokasi wisata budaya seperti Kampung Pulo dan Situ Bagendit. Waktu pelaksanaan bisa diselaraskan dengan momentum hari besar Islam, sehingga nilai spiritualnya tetap terjaga.
Selain menjadi atraksi wisata budaya, festival seperti ini berpotensi menggerakkan ekonomi lokal—mulai dari UMKM kuliner, pengrajin rebana, hingga pemandu wisata.
Mengundang Wisatawan Lokal hingga Mancanegara
Wisatawan yang datang ke Garut selama ini mungkin hanya memburu keindahan Pantai Santolo, Gunung Papandayan, atau air panas Cipanas. Kehadiran Festival Rudat akan memperkaya pilihan mereka.
Bagi wisatawan mancanegara, Rudat menawarkan pengalaman autentik yang jarang ditemui di negara lain: sebuah seni tradisi yang menyatukan bela diri, musik, dan dakwah. Dikemas dengan sentuhan modern—panggung cahaya, narasi sejarah, dan promosi digital—Rudat bisa menjadi magnet baru dalam peta wisata budaya Jawa Barat.
Menjaga Taman Bunga Warisan Pesantren
Rudat adalah taman bunga budaya yang tumbuh dari tanah pesantren. Menyelenggarakan Festival Rudat bukan hanya soal pariwisata, tetapi juga menjaga identitas dan kebanggaan daerah.
Jika semua pihak—pemerintah, pelaku pariwisata, komunitas seni, dan pesantren—bersinergi, bukan tidak mungkin Rudat akan kembali bergema, tak hanya di Garut, tapi juga di panggung dunia.