Museum Pos Indonesia: Jejak Sejarah Komunikasi di Jantung Bandung

Jabar Tourism
0

Museum Pos Indonesia (sumber : pinterest)

Di balik megahnya Gedung Sate yang menjadi ikon Kota Bandung, tersimpan sebuah bangunan bersejarah yang seolah membawa kita kembali ke masa ketika komunikasi masih bergantung pada surat dan perangko. Itulah Museum Pos Indonesia, yang beralamat di Jalan Cilaki No. 73 Bandung. Museum ini bukan sekadar tempat menyimpan benda-benda pos, melainkan juga saksi perjalanan panjang bangsa dalam menyampaikan kabar dan pesan, jauh sebelum era ponsel dan internet mengambil alih.


Bangunan museum ini berdiri sejak tahun 1933, pada masa Hindia Belanda. Dirancang oleh dua arsitek ternama, J. Berger dan Leutdsgebouwdienst, awalnya gedung ini dikenal dengan nama Pos, Telegraf, dan Telepon (PTT). Namun, perjalanan waktu dan perubahan kekuasaan membuat museum ini sempat mengalami masa suram. Saat pendudukan Jepang, koleksi di dalamnya terbengkalai, bahkan setelah Indonesia merdeka pun, benda-benda bersejarah itu masih dibiarkan tak terurus.


Barulah pada tahun 1980, perhatian serius diberikan. Perum Pos dan Giro kala itu membentuk panitia khusus untuk merawat koleksi bernilai tinggi yang nyaris hilang ditelan zaman. Tepat di peringatan Hari Bhakti Postel ke-38, pada 27 September 1983, museum ini resmi berganti nama menjadi Museum Pos dan Giro, dan diresmikan langsung oleh Achmad Tahir, Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi saat itu. Perjalanan nama belum berhenti sampai di sana, karena pada tahun 1995 museum ini akhirnya dikenal dengan sebutan yang kita kenal hingga kini: Museum Pos Indonesia.


Memasuki area pameran, pengunjung seolah diajak menyusuri sejarah komunikasi lewat ribuan koleksi perangko dari berbagai belahan dunia. Bukan hanya itu, benda-benda klasik seperti timbangan surat, sepeda khas pak pos, hingga seragam dinas dari masa kolonial hingga era modern ikut dipamerkan, memberikan gambaran nyata tentang perkembangan pos di Indonesia.


Salah satu bagian paling menarik adalah ruang pameran surat emas—dokumen berharga berupa surat dari para raja nusantara kepada komandan dan jenderal Belanda. Surat-surat yang ditulis di atas lembaran berlapis emas ini menjadi bukti nyata bagaimana komunikasi politik dijalin di masa lalu. Menariknya, sebagian koleksi surat emas ini sebelumnya sempat tersimpan di Inggris. Hal itu wajar, mengingat banyak di antaranya ditujukan kepada Gubernur-Jenderal Inggris yang terkenal, Thomas Stamford Raffles. Kini, surat-surat berusia ratusan tahun itu kembali bisa dilihat di tanah air, menjadi pengingat tentang diplomasi yang pernah berlangsung antara raja-raja nusantara dengan kekuatan kolonial.


Museum ini tidak hanya memamerkan benda mati. Setiap ruangannya dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna, baik bagi peneliti filateli, pelajar, maupun keluarga yang ingin mengenalkan anak-anak pada sejarah komunikasi Indonesia. Menyusuri lorong-lorongnya serasa membuka lembaran buku tua yang penuh cerita—tentang perjuangan, tentang komunikasi, dan tentang bagaimana sebuah pesan sederhana bisa menjadi bagian dari perjalanan bangsa.


Bagi siapa pun yang berkunjung ke Bandung, menyempatkan waktu ke Museum Pos Indonesia adalah kesempatan untuk menyelami sisi lain sejarah kota ini. Lebih dari sekadar melihat koleksi, museum ini mengingatkan kita betapa berharganya proses komunikasi di masa lalu, yang menjadi fondasi bagi kemudahan kita bertukar kabar di masa kini.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)