Sejarah Borondong Garing: Kuliner Manis dan Renyah Khas Bandung

Dede Diaz Abdurahman
3 minute read
0

Borondong Garing dan Borondong Enten (sumber : instagram/@infobandungselatan_)
Borondong adalah salah satu makanan tradisional khas Pasundan yang dibuat dari gabah ketan yang diolah dengan campuran gula, kemudian dicetak menggunakan batok kelapa. Hasilnya adalah camilan manis yang menggoda. Borondong sendiri memiliki dua varian utama, yaitu Borondong Garing dan Borondong Enten.


Hingga kini, asal-usul pasti dari borondong masih belum diketahui secara jelas. Bahkan, saat bertanya kepada Pak Cucu Supriatna, pengelola Borondong Ma Erah, tentang sejarah makanan ini dan apakah berasal dari Kecamatan Majalaya atau Kecamatan Ibun, jawabannya pun masih belum pasti. Menurut beliau, borondong ini telah diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi dalam keluarganya.


Namun, jika menilik catatan sejarah, sekitar tahun 1920-an, borondong sudah mulai dibuat di Kampung Sangkan oleh seorang wanita bernama Mu Enit. Tak hanya itu, saudara perempuannya, Mu Enil, yang tinggal di Kampung Garung, juga membuat borondong, tetapi hanya untuk konsumsi pribadi dan dinikmati bersama teh hangat di rumah.


Memasuki tahun 1940-an, anak-anak dari Mu Enit, yakni Bi Anah dan Bi Tarsih, mulai meneruskan pembuatan borondong, tidak hanya untuk keperluan sendiri, tetapi juga menerima pesanan dari warga sekitar, khususnya untuk acara hajatan di daerah Desa Cibeet (yang kini bernama Desa Laksana).


Borondong Semakin Populer dan Menjadi Usaha Keluarga

Pada awal 1950-an, beberapa tetangga yang sering membantu Bi Anah dan Bi Tarsih, seperti Iming, Enang, Erah, Encoh, dan Ioh, mulai ikut memproduksi borondong karena meningkatnya jumlah pesanan.


Kemudian, di tahun 1960, seorang perajin bernama Ma Erah mulai membuat borondong secara kecil-kecilan. Ia menggunakan gabah ketan dari sawah miliknya, kayu bakar dari kebunnya sendiri, dan membeli gula dalam jumlah terbatas. Proses produksi pun masih dilakukan bersama suami dan anak-anaknya.


Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1970-an, Borondong Ma Erah semakin dikenal luas, baik di desa maupun di luar kecamatan. Banyak orang yang memesannya untuk acara hajatan, oleh-oleh, atau dijual kembali di warung-warung. Popularitas borondong terus meningkat hingga awal 1980-an, ketika Ma Erah mulai menambah jumlah pekerja menjadi lima orang dari lingkungan sekitarnya. Kini, usaha borondongnya telah berkembang dengan melibatkan 10 pekerja, termasuk anggota keluarganya.


Borondong Ma Erah dan Rekor MURI

Puncak pencapaian Borondong Ma Erah terjadi pada 14 Mei 2004, ketika borondong ini berhasil memecahkan rekor MURI (Museum Rekor Indonesia) dengan membuat replika Gedung Sate dari borondong. Dalam prosesnya, digunakan:

  • 2 ton gabah ketan
  • 800 kg gula merah
  • 500 kg gula putih
  • 10 meter kubik kayu bakar

Borondong-borondong ini dibentuk dengan ukuran 10 cm × 20 cm × 2 cm, kemudian disusun dengan rapi hingga menyerupai bentuk Gedung Sate yang megah. Acara pemecahan rekor ini merupakan hasil kerja sama antara Bandung Chef Association dan Dinas Indag Agro, serta diselenggarakan di Mall Istana Plaza, Bandung. Proses pembuatan replika Gedung Sate ini dikerjakan oleh mahasiswa dan mahasiswi dari Ariyanti Bandung.


Acara tersebut juga dihadiri oleh Presiden BEA, serta dibuka secara resmi oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, yang melakukan simbolis pemotongan untaian borondong. Penghargaan MURI pun diberikan kepada Ma Erah, disaksikan langsung oleh Camat Kecamatan Ibun dan Kepala Desa Laksana, serta diliput oleh berbagai surat kabar dan stasiun televisi nasional.


Perhatian Media dan Bantuan Pemerintah

Setelah mendapatkan penghargaan MURI, rumah produksi Ma Erah sering menjadi sorotan media. Beberapa stasiun televisi seperti Asal Usul dan Si Gudul pernah meliput usaha borondong ini. Tak hanya itu, banyak mahasiswa dan mahasiswi yang menjadikan borondong sebagai bahan penelitian dalam tugas akhir atau skripsi mereka.


Pada tahun 2013, usaha Borondong Ma Erah mendapat bantuan dari PT. Pertamina berupa mesin sangrai (pengering) dan oven untuk meningkatkan produksi. Bantuan ini sangat berarti, tetapi di sisi lain, metode tradisional juga tetap harus dipertahankan agar generasi mendatang bisa melihat langsung bagaimana borondong dibuat secara manual.


Dengan semakin berkembangnya usaha borondong, diharapkan makanan khas ini tetap lestari dan semakin dikenal sebagai bagian dari kekayaan kuliner tradisional Pasundan.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)