Nasi Jamblang: Sepiring Warisan Cirebon yang Tak Pernah Lekang oleh Waktu

Jabar Tourism
3 minute read
0

Nasi Jamblang Cirebon (sumber : pinterest)

Jika menyusuri sudut-sudut kota Cirebon, aroma khas nasi yang dibungkus daun jati mungkin akan menggoda indra penciuman Anda. Dialah nasi jamblang, kuliner sederhana namun kaya makna yang tak hanya mengenyangkan perut, tapi juga menyimpan sejarah panjang dari masa ke masa.


Nasi jamblang bukan sekadar makanan, tapi sebuah identitas. Pada tahun 2023, hidangan ini resmi dinobatkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). Pengakuan ini menjadi bukti bahwa makanan tradisional pun bisa menyimpan nilai budaya yang luhur dan patut dilestarikan.


Di balik kelezatannya, nasi jamblang menyimpan kisah inspiratif yang dimulai sejak masa kolonial Belanda, sekitar tahun 1847. Saat itu, pembangunan pabrik gula Gempol dan pabrik spiritus di Palimanan menarik banyak tenaga kerja dari berbagai daerah. Para buruh bangunan dan pekerja pabrik kerap harus berangkat sebelum fajar, tanpa sempat mengisi perut.


Di tengah kebutuhan akan asupan pagi, pasangan H Abdulatif dan Ny Tan Piaw Lun—dikenal pula sebagai Mbah Pulung—tergerak untuk membantu. Mereka mulai membagikan nasi bungkus dengan lauk pauk sederhana kepada para pekerja sebagai bentuk sedekah. Makanan yang mereka sajikan kala itu menggunakan daun jati sebagai pembungkus, bukan hanya karena praktis dan alami, tapi juga membuat nasi lebih tahan lama dan wangi.


Meski awalnya hanya sedekah, lama kelamaan banyak pekerja yang dengan sukarela memberikan uang sebagai imbalan. Dari sanalah benih-benih usaha kuliner nasi jamblang mulai tumbuh. Inilah cikal bakal kuliner khas Cirebon yang kini melegenda.


Salah satu penjaga tradisi kuliner ini adalah Nasi Jamblang Tulen, rumah makan legendaris yang berlokasi di Desa Kasugengan Lor, Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon. Dari luar, tempat makan ini mungkin tampak sederhana, namun di dalamnya tersimpan rasa dan cerita yang mendalam.


Saat melangkah ke dalam, Anda akan disambut jejeran lauk pauk menggoda: sambal goreng, tempe, pepes jamur, hingga sayur tahu yang jadi favorit pengunjung. Uniknya, nasi dihidangkan dalam porsi kecil seukuran kepalan tangan. Tak heran jika satu orang bisa menyantap dua hingga tiga bungkus sekaligus.


Warung ini kini dikelola oleh pasangan suami istri Yogi dan Rini Budiati—generasi kelima dari keluarga pendiri nasi jamblang. Mereka meneruskan perjuangan orang tua Yogi, yakni Kusdiman dan Hj Tien Rustini, yang pada masanya mencetuskan nama “Nasi Jamblang Tulen” demi menjaga kemurnian cita rasa.


Hj Tien, seorang perempuan gigih yang mencintai tradisi, memutuskan untuk mengembalikan nasi jamblang ke resep aslinya. Ia membuka kembali buku resep warisan keluarga, mencari bahan-bahan terbaik, bahkan hingga memasok kayu bakar demi mempertahankan rasa autentik yang sulit dicari di era modern.


Kini, tongkat estafet itu dipegang oleh Rini dan Yogi. Meski zaman berubah dan teknologi berkembang, mereka tetap setia menggunakan daun jati dan memasak dengan cara tradisional. Rini percaya, di sanalah letak kekuatan nasi jamblang: rasa yang tulus, dari tangan yang jujur.


"Kalau pakai daun jati, nasi jadi lebih pulen dan tahan lama," ujar Rini saat ditemui.


Salah satu lauk yang paling ikonik, kata Rini, adalah sambal jamblang dan daging laos. Namun jangan lewatkan pula sayur tahu yang jadi menu favorit pelanggan setia. Setiap suapan seolah membawa kita kembali ke masa lalu, mengingatkan bahwa makanan tak hanya soal rasa, tapi juga perjalanan, kenangan, dan cinta.


Dari kisah Mbah Pulung yang berbagi nasi untuk buruh pabrik, hingga meja-meja yang kini ramai dipenuhi pelanggan, nasi jamblang telah menjelma menjadi lebih dari sekadar hidangan. Ia adalah bagian dari sejarah, bukti bahwa sesuatu yang lahir dari niat baik akan terus hidup dan dicintai, lintas generasi.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)