Di tengah derasnya arus modernisasi yang melanda berbagai aspek kehidupan, masyarakat Kampung Cireundeu tetap kukuh menjaga dan melestarikan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur mereka. Dengan semangat ini, tradisi tahunan Tutup Taun Ngemban Taun terus dijalankan sebagai bagian dari kearifan lokal yang melekat kuat di Kampung Adat Cireundeu, yang terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat.
Tutup Taun Ngemban Taun, yang merupakan puncak perayaan pergantian tahun berdasarkan kalender Sunda Wiwitan, telah menjadi kegiatan sakral bagi ratusan warga kampung ini. Prosesi diawali dengan arak-arakan hasil panen masyarakat. Perjalanan dimulai dari gerbang utama Kampung Cireundeu menuju Bale Saresehan, balai pertemuan adat yang menjadi pusat acara. Di sana, hasil panen berupa beragam produk pertanian disusun rapi sebagai bentuk persembahan.
Arak-arakan ini melibatkan seluruh elemen masyarakat, dari anak-anak hingga orang dewasa. Para perempuan biasanya mengenakan kebaya putih, sementara laki-laki memakai pakaian pangsi hitam lengkap dengan ikat kepala khas Sunda. Dalam suasana khidmat, mereka berjalan bersama sembari membawa hasil bumi menuju tempat berkumpul.
Setelah tiba di Bale Saresehan, acara dilanjutkan dengan pembacaan sejarah Kampung Adat Cireundeu, wejangan dari para sesepuh, dan doa bersama. Pesan yang disampaikan dalam momen ini menekankan pentingnya mengingat asal-usul, serta tujuan utama keberadaan manusia di dunia.
Usai prosesi adat, warga dan tamu yang hadir menikmati beragam hidangan khas Kampung Cireundeu, terutama yang berbahan dasar singkong. Hidangan ini menjadi ciri khas masyarakat yang sejak tahun 1924 mengganti nasi dengan singkong sebagai makanan pokok. Tradisi unik ini berawal dari kekeringan parah pada 1920-an yang memaksa warga mengandalkan singkong sebagai sumber pangan utama. Dari situ, lahirlah inovasi berupa "beras singkong" atau rasin, yang hingga kini menjadi andalan kuliner masyarakat Cireundeu.
Selain menikmati sajian khas, pengunjung juga dihibur oleh berbagai pertunjukan seni dan budaya tradisional, seperti permainan anak-anak (kaulinan barudak) dan pagelaran wayang golek yang berlangsung semalam suntuk.
Abah Emen Sunarya, salah satu sesepuh Kampung Cireundeu, menjelaskan bahwa tradisi ini merupakan bentuk syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang diperoleh setiap tahun. "Kami berharap tradisi ini bisa terus dilestarikan dan hasil panen kami semakin baik di masa mendatang," ungkapnya.
Sebagai kampung adat yang sekaligus dijuluki Desa Wisata Ketahanan Pangan (Dewi Tapa), Kampung Cireundeu telah menjadi contoh nyata ketangguhan dalam menjaga tradisi dan ketahanan pangan. Dengan luas wilayah sekitar 4 hektare dan dihuni oleh 340 jiwa yang tersebar di 70 kepala keluarga, kampung ini tetap terbuka bagi wisatawan lokal maupun mancanegara yang ingin belajar tentang kearifan lokal, toleransi, keberagaman, dan keberlanjutan pangan.
Akses menuju Kampung Cireundeu tergolong mudah. Dari Alun-alun Kota Cimahi, perjalanan sejauh 12 kilometer ke arah selatan dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua atau roda empat. Jalan menuju kampung ini sudah beraspal beton meski sedikit menanjak. Di sekitar kampung, terdapat Gunung Gajah Langu yang menawarkan pemandangan indah ke arah Kota Cimahi serta kawasan Batujajar dan Cililin.
Bagi siapa pun yang ingin mengenal lebih dalam tradisi, budaya, dan kehidupan masyarakat yang harmonis dengan alam, mengunjungi Kampung Cireundeu akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Di sini, Anda tak hanya melihat bagaimana tradisi dilestarikan, tetapi juga belajar bagaimana manusia dapat hidup berdampingan dengan alam secara berkelanjutan.