Seni Bela Diri Ujungan (sumber : twitter.com/kotabekasikeren) |
Menyebut nama Bekasi, tentu banyak orang langsung teringat akan kota yang menjadi pusat aktivitas ekonomi dan industri. Sebagai salah satu kawasan yang menjadi tumpuan para perantau, Bekasi terus tumbuh menjadi area industri terbesar di Asia Tenggara.
Kawasan industri seperti Cikarang telah menjadikan Bekasi salah satu pusat produksi besar, dengan berbagai wilayah seperti MM2100, Kota Jababeka, East Jakarta Industrial Park (EJIP), dan Lippo Cikarang menjadi nama-nama yang sudah tidak asing lagi. Namun, di balik kemajuan industrinya, Bekasi menyimpan warisan seni bela diri yang unik, yaitu Ujungan.
Warisan Sejarah dan Budaya Bekasi
Bekasi memiliki latar belakang budaya yang dipengaruhi oleh berbagai elemen sosial dan geografis. Pada awalnya, wilayah ini didominasi oleh kebudayaan Sunda, mengingat penduduk aslinya adalah masyarakat Sunda. Bahasa dan tradisi Sunda turut memengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat Bekasi.
Namun, dengan berkembangnya zaman dan migrasi yang masif, budaya Betawi mulai berbaur dengan tradisi lokal. Kehadiran elemen budaya baru ini menciptakan akulturasi yang khas di Bekasi. Di masa lalu, Bekasi dikenal sebagai Dayeuh Sundasembawa, ibu kota Kerajaan Tarumanegara yang mencakup wilayah luas hingga Sunda Kelapa, Bogor, dan sekitarnya. Wilayah ini menyimpan banyak bukti sejarah, seperti Prasasti Kebantenan yang berasal dari masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi).
Ujungan: Seni Bela Diri yang Penuh Nilai Filosofis
Kesenian Ujungan adalah hasil perpaduan budaya Sunda dan Betawi. Seni bela diri ini terkenal sebagai bentuk pertaruhan harga diri dan status sosial, menggunakan rotan sebagai alat utama. Diperkenalkan sekitar tahun 1980-an, Ujungan tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tetapi juga memadukan elemen musik dan tari.
Kata "Ujungan" berasal dari bahasa Sunda, dengan arti "kaki" atau "ujung." Di beberapa tempat, seni ini dikenal dengan nama lain, seperti Sabet Rotan atau Gitikan. Dalam praktiknya, Ujungan memiliki tiga elemen utama: seni bela diri, tarian yang disebut uncul, serta musik tradisional yang menggunakan alat seperti sampyong dan tok tok.
Alat musik sampyong mirip dengan gambang dan awalnya digunakan sebagai pengiring gerakan tarian. Sementara itu, tok tok adalah alat musik dari bambu yang berfungsi mengatur ritme dalam pertunjukan. Menariknya, alat musik ini kadang diganti dengan kecrek.
Aturan dan Teknik dalam Ujungan
Dalam pertarungan Ujungan, dua pemain saling berhadapan dan menggunakan teknik bela diri untuk menyerang lawan. Sasaran serangan biasanya bagian bawah tubuh, seperti tulang kering atau mata kaki, menghindari area vital. Rotan yang digunakan bervariasi panjangnya, mulai dari 40 hingga 125 sentimeter, dengan diameter sebesar lengan bayi.
Petarung harus sangat berhati-hati agar ujung kaki mereka tidak terkena pukulan rotan, karena dapat menyebabkan cedera serius. Seorang wasit yang disebut boboto bertugas memimpin jalannya pertandingan, menjaga agar pertarungan tetap adil dan terkendali.
Peran Jawara dan Sejarah Ujungan
Tokoh terkenal yang menjaga tradisi Ujungan di Bekasi adalah Abah Natrom dan Babab Dalih, yang dikenal sebagai jawara pada era 1950-an. Pada masa penjajahan, seni bela diri ini diajarkan kepada pemuda untuk membangun keberanian melawan penjajah. Namun, di tahun 1960-an, pemerintah sempat melarang Ujungan karena dianggap terlalu keras.
Kini, Ujungan lebih sering dipentaskan sebagai hiburan rakyat, bukan sebagai ajang menyeleksi jawara. Sayangnya, seni tradisional ini semakin jarang ditemukan dan terancam punah. Padahal, Ujungan bukan hanya bentuk olahraga, tetapi juga warisan budaya yang mengajarkan nilai persaudaraan, sportivitas, dan kebanggaan akan sejarah lokal.