![]() |
Upacara Kawin Cai di Kuningan (Sumber: menlhk.go.id) |
Ritual adat Kawin Cai adalah tradisi unik yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Ciremai, tepatnya di Desa Babakan Mulya, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Dalam bahasa Sunda, cai berarti air. Upacara ini diadakan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan berkah, sekaligus untuk memohon keselamatan. Selain itu, Kawin Cai juga bertujuan untuk memohon keberlimpahan air agar lahan pertanian lebih subur serta kebutuhan air masyarakat dapat terpenuhi.
Upacara ini diawali dengan pengambilan air dari mata air Tirtayatra Talaga Balong Dalem, Desa Babakan Mulya, yang dilambangkan sebagai mempelai laki-laki. Air tersebut kemudian dicampur atau "dikawinkan" dengan air dari mata air Cikembulan Talaga Cibulan, Desa Manis Kidul, yang diibaratkan sebagai mempelai perempuan.
Asal Usul Legenda Kawin Cai
Legenda Kawin Cai berawal dari kisah Resi Makandria, seorang pertapa yang dikenal sebagai Sang Kebowulan. Ia bertapa di Talaga Balong Dalem Tirta Yatra. Suatu hari, ia diejek oleh sepasang burung, Uwur-Uwur dan Naragati, karena tidak memiliki pasangan maupun keturunan. Karena itu, ia meminta istri kepada Resi Guru Manikmaya dari Kerajaan Kainderaan. Resi Manikmaya kemudian memberikan putrinya, Pwah Aksari Jabung, yang berparas cantik. Namun, kecantikan Pwah justru membuat Resi Makandria merasa enggan menikahinya.
Sebagai jalan keluar, Pwah Aksari Jabung berubah wujud menjadi seekor kijang betina, sementara Resi Makandria menjelma menjadi seekor kerbau bule. Mereka pun menikah dan memiliki keturunan bernama Pwah Bungatak Mangalengale, yang kelak menikah dengan Sang Wreti Kandayun, pendiri Kerajaan Galuh.
Pelaksanaan Kawin Cai
Ritual Kawin Cai adalah simbol penghormatan terhadap peristiwa di Telaga Balong Dalem Tirta Yatra, yang menjadi sumber air utama masyarakat Desa Babakan Mulya. Upacara ini biasanya dilaksanakan saat musim kemarau panjang atau setelah panen sebagai bentuk syukur. Waktu pelaksanaannya jatuh pada bulan Oktober, tepatnya malam Jumat Kliwon.
Seiring waktu, tradisi ini mengalami adaptasi. Beberapa prosesi yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam dihilangkan, sementara unsur seni tradisional ditambahkan untuk memperkaya acara sekaligus mempromosikan daerah.
Rangkaian Prosesi Kawin Cai
Prosesi dimulai dengan penyembelihan domba di area mata air Tirtayatra. Daging domba tersebut kemudian dimasak oleh kaum ibu untuk disajikan di acara puncak. Sekitar pukul 10 pagi, rombongan adat dari Desa Babakan Mulya mengambil air dari mata air Tirtayatra. Rombongan ini disambut dengan upacara adat yang diiringi seni tradisional Sunda, termasuk tarian dan musik degung.
Setelah itu, air dibawa ke Talaga Cibulan, tempat mata air Sumur Tujuh berada. Di sana, air dari tujuh sumber mata air diambil dengan doa yang dipimpin oleh sesepuh Desa Manis Kidul, disaksikan oleh sesepuh Desa Babakan Mulya. Kedua air tersebut kemudian dibawa kembali ke Balong Dalem untuk dilangsungkan prosesi penggabungan atau "perkawinan" air.
Setelah air dikawinkan, kumpulan air tersebut disiramkan kepada perangkat desa yang bertanggung jawab atas pengelolaan air dan irigasi. Setelah upacara selesai, masyarakat dari Desa Babakan Mulya, Desa Manis Kidul, dan desa lainnya bergantian mengambil air menggunakan lodong atau bekong. Air ini dianggap sebagai benih yang akan digunakan untuk menyiram lahan pertanian mereka.
Kawin Cai bukan hanya ritual adat, tetapi juga simbol penghormatan terhadap air sebagai sumber kehidupan. Tradisi ini terus dilestarikan sebagai wujud kebersamaan, penghormatan terhadap leluhur, dan rasa syukur kepada Sang Pencipta.