Grebeg Syawal: Tradisi Sakral Masyarakat Cirebon dalam Merayakan Idul Fitri

Jabar Tourism
3 minute read
0

Grebeg Syawal ( sumber : Facebook/Kesultanan Kanoman) 

Cirebon, sebuah kota di pesisir utara Jawa Barat, memiliki kekayaan budaya yang begitu kental, terutama dalam merayakan hari-hari besar keagamaan. Salah satu tradisi yang paling dinantikan setiap usai Idul Fitri adalah Grebeg Syawal, sebuah perayaan yang menggambarkan harmoni antara adat istiadat dan nilai-nilai keislaman. Tradisi ini berlangsung di dua keraton utama, yakni Keraton Kanoman dan Keraton Kasepuhan, yang memiliki keunikan tersendiri dalam pelaksanaannya.


Grebeg Syawal telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Cirebon sejak tahun 1570, tepat setelah wafatnya Fatahillah, menantu Sunan Gunung Jati. Tradisi ini tidak sekadar ritual keagamaan, tetapi juga menjadi ajang mempererat hubungan antara keluarga keraton dan masyarakat luas.


Dua keraton besar di Cirebon memiliki waktu pelaksanaan yang berbeda. Keraton Kanoman mengadakan Grebeg Syawal seminggu setelah Idul Fitri, sementara Keraton Kasepuhan menggelarnya dua hari setelah Kanoman. Sebelum ritual berlangsung, keluarga keraton menjalani puasa Syawal selama tujuh hari, yang menjadi bentuk pengabdian spiritual.


Prosesi Ziarah ke Makam Leluhur

Prosesi Grebeg Syawal (sumber : Facebook/Kesultanan Kanoman)

Pada hari pelaksanaan, sejak pagi, warga dari berbagai daerah—bahkan dari luar Pulau Jawa—berbondong-bondong mendatangi kompleks makam Sunan Gunung Jati. Mereka menantikan kehadiran Sultan Kanoman, Pangeran Raja Muhammad Emirudin, beserta keluarga besar keraton. Kehadiran para bangsawan ini disambut antusias oleh masyarakat, yang berharap dapat bersentuhan langsung dengan keluarga keraton, terutama sang Sultan.


Rombongan Keraton Kanoman memasuki Gedong Jinem, tempat peristirahatan terakhir Sunan Gunung Jati, melalui serangkaian pintu sakral seperti Pasujudan, Kandok, Pandan, Soko, Kaca, Bacem, dan Gusti. Setelah berdoa dan berdzikir, mereka melanjutkan ziarah ke makam leluhur lainnya, seperti Mbah Kuwu Cirebon (Pangeran Cakrabuana) dan beberapa sultan terdahulu hingga Sultan Anom XI.


Salah satu bagian menarik dari prosesi ini adalah ketika rombongan melintasi Pintu Mreggu, yang merupakan area khusus keturunan Tionghoa yang dibangun untuk menghormati Putri Ong Tien, istri Sunan Gunung Jati. Hal ini mencerminkan nilai toleransi dalam tradisi Islam di Cirebon.


Setelah ritual selesai, Sultan dan keluarganya beristirahat di Bangsal Pasanggrahan sambil menikmati kuliner khas Cirebon. Di saat yang sama, Gusti Patih Pangeran Raja Mohamad Kodiran dan Pangeran Kumisi melakukan tradisi sawer, di mana mereka membagikan uang atau hadiah kepada warga sebagai bentuk syukur dan berkah.


Gamelan Sekaten di Keraton Kasepuhan

Meski perayaan Grebeg Syawal diawali oleh Keraton Kanoman, Keraton Kasepuhan juga memiliki tradisi khas dalam menyambut Idul Fitri. Salah satunya adalah membunyikan Gamelan Sekaten di area Siti Inggil, yang menjadi penanda datangnya hari kemenangan bagi umat Muslim.


Gamelan Sekaten bukan sekadar hiburan, tetapi juga memiliki nilai historis sebagai bagian dari dakwah Islam yang diperkenalkan oleh Sunan Gunung Jati. Dahulu, masyarakat yang ingin menyaksikan pertunjukan gamelan harus membayar, bukan dengan uang, tetapi dengan mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai bentuk keimanan kepada Islam.


Selain itu, keluarga Keraton Kasepuhan juga melaksanakan shalat Idul Fitri dua kali, yakni di dalam keraton khusus untuk keluarga, dan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa bersama masyarakat umum. Prosesi ini semakin menegaskan bahwa Grebeg Syawal bukan hanya tradisi keluarga keraton, tetapi juga milik seluruh warga Cirebon yang ingin merayakan Lebaran dengan penuh makna.


Grebeg Syawal bukan hanya sekadar ritual tahunan, tetapi juga warisan budaya yang mencerminkan nilai-nilai keislaman, sejarah, dan kearifan lokal masyarakat Cirebon. Perayaan ini menjadi bukti bahwa adat istiadat dapat berjalan seiring dengan ajaran agama, menciptakan harmoni dalam keberagaman. Seiring berjalannya waktu, tradisi ini terus dijaga dan diwariskan kepada generasi berikutnya, sebagai salah satu kekayaan budaya yang patut dibanggakan.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)