![]() |
Kang Dedi Mulyadi saat menghadiri Ngaruwat Bumi (sumber : facebook/Danil Mustafa) |
Di balik keindahan dan kearifan lokal Kampung Banceuy, tersimpan kisah panjang yang berakar dari sebuah peristiwa besar di masa lampau. Kampung ini dahulu bernama Kampung Negla, sebuah pemukiman yang terletak di dataran tinggi di timur laut dari lokasi Kampung Banceuy saat ini. Dengan hanya tujuh keluarga yang menetap di sana—yakni keluarga Eyang Ito, Aki Leutik, Eyang Malim, Aki Alman, Eyang Ono, Aki Uti, dan Aki Arsiam—kampung ini berdiri kokoh di tengah alam yang masih perawan.
Namun, sekitar tahun 1800-an, bencana angin puting beliung menerjang Kampung Negla, menghancurkan rumah-rumah warga, merusak tanaman, dan memusnahkan ternak. Peristiwa ini menyisakan duka mendalam bagi penduduk. Demi mencari solusi agar bencana serupa tidak terulang, ketujuh tokoh kampung bermusyawarah—dalam bahasa Sunda disebut "ngabanceuy." Dari sinilah, nama "Banceuy" muncul sebagai simbol musyawarah dan kebersamaan.
Sebagai bagian dari upaya perlindungan spiritual, mereka mengundang seorang paranormal, Eyang Suhab, dari Kampung Ciupih, Desa Pasanggrahan, Kecamatan Kasomalang. Dalam ritual khusus, dilakukan upacara penangkalan bencana dengan cara "numbal" atau persembahan. Nama kampung pun diubah menjadi Kampung Banceuy, karena "Negla" diyakini membawa kesialan bagi penduduknya. Sejak saat itu, perubahan nama diharapkan membawa keberkahan dan perlindungan bagi kampung.
Untuk mengenang peristiwa bersejarah ini, masyarakat Kampung Banceuy secara turun-temurun mengadakan upacara adat yang dikenal sebagai Ngaruwat Bumi. Tradisi ini bertujuan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penghormatan kepada leluhur, serta sebagai doa agar kampung tetap aman dan sejahtera.
Ngaruwat Bumi: Ritual Sakral yang Tetap Lestari
Ngaruwat Bumi berasal dari kata "ngarawat" yang dalam bahasa Sunda berarti merawat atau memelihara. Upacara ini merupakan ajang berkumpulnya masyarakat untuk membawa hasil bumi sebagai wujud syukur dan doa bersama. Ruwatan Bumi di Kampung Banceuy dilaksanakan pada hari Rabu akhir bulan Rayagung (Dzulhijah), menjelang tahun baru Islam.
![]() |
Prosesi Ngaruwat Bumi (sumber : facebook/Danil Mustafa) |
Selama dua hari, serangkaian prosesi adat dilakukan dengan penuh khidmat:
Dadahut – Tahapan persiapan yang meliputi musyawarah, penggalangan dana, pembuatan makanan khas, serta pembuatan "pintu heek" dan "sawen."
Ngadiukeun – Ritual doa yang dipimpin sesepuh adat di tempat khusus dengan sesajen, memohon izin kepada Tuhan dan leluhur agar upacara berjalan lancar.
Meuncit Munding – Tradisi menyembelih kerbau, di mana sebagian dagingnya dibagikan kepada warga sebagai bentuk kebersamaan.
Ngalawar – Ritual penyimpanan sesajen di sudut-sudut kampung, bertujuan mengundang leluhur untuk turut serta dalam upacara.
Sholawatan – Doa bersama di masjid selepas magrib, sebagai bagian dari ibadah dan permohonan berkah.
Seni Buhun Gemyung – Pagelaran seni tradisional sebagai penghormatan kepada leluhur, yang dilaksanakan di malam pertama upacara.
Pada hari kedua, yang menjadi puncak acara, dilakukan beberapa ritual penting:
Numbal – Prosesi utama dengan mengubur sesajen dan makanan berbahan beras di tempat khusus, sebagai simbol kesuburan tanah.
Ngarak Dewi Sri – Arak-arakan mengelilingi kampung menuju situs-situs keramat, seperti makam Eyang Ito, Aki Leutik, dan Situs Puncak.
Nyawer Dewi Sri – Prosesi menyawer (menaburkan beras atau uang) yang diiringi syair buhun sebagai ungkapan syukur.
Ijab Rasul – Ritual penutup yang dihadiri seluruh warga, sebagai tanda berakhirnya rangkaian upacara dengan harapan keberkahan.
Pagelaran Wayang Golek – Sebagai hiburan bagi masyarakat, pertunjukan ini digelar dari siang hingga dini hari, menampilkan grup seni terkenal, Giri Harja 5.
Dengan selesainya pertunjukan wayang golek, berakhirlah tradisi Ngaruwat Bumi tahun itu. Bagi masyarakat Kampung Banceuy, ritual ini bukan sekadar warisan leluhur, tetapi juga bagian dari filosofi kehidupan—tentang pentingnya kebersamaan, penghormatan terhadap alam, dan menjaga harmoni dengan Tuhan dan sesama manusia. Selama nilai-nilai ini tetap dijaga, Ngaruwat Bumi akan terus menjadi simbol identitas dan kearifan lokal yang lestari sepanjang masa.