![]() |
Pertunjukan Angklung Buncis (sumber : pinterest) |
Salah satu kesenian khas yang masih bertahan di Cireundeu adalah angklung buncis. Di Jawa Barat, angklung bukanlah hal baru. Instrumen ini sudah digunakan sejak zaman kerajaan Sunda. Catatan sejarah menunjukkan bahwa kata "angklung" muncul dalam berbagai naskah kuno seperti Carita Parahiangan (1527), Sewaka Darma (akhir abad ke-17), Bujangga Manik (akhir 1400-an), dan Siksa Kanda(ng) Karesian (1518). Angklung buncis sendiri bukan hanya milik Cireundeu, karena di berbagai daerah di Jawa Barat, seperti Ciptagelar, Sukabumi, juga ditemukan kesenian serupa. Nama "buncis" konon berasal dari potongan lirik lagu rakyat yang berbunyi "cis kacang buncis nyengcle..." yang akrab di telinga masyarakat setempat.
Bila dibandingkan dengan angklung yang sering dimainkan di sekolah, angklung buncis memiliki perbedaan mendasar. Angklung yang umum kita temui menggunakan sistem nada diatonis (do-re-mi), sedangkan angklung buncis tetap mempertahankan sistem nada khasnya, yaitu pentatonis dengan laras salendro. Meski begitu, dalam beberapa kesempatan, laras yang digunakan bisa sedikit berbeda dari salendro pada umumnya.
Awalnya, angklung buncis hanya dimainkan dalam upacara syukuran panen. Namun, seiring waktu, fungsinya meluas. Kini, kesenian ini juga hadir dalam acara penyambutan tamu serta berbagai pertunjukan budaya, baik di dalam maupun luar Cireundeu. Secara fisik, angklung buncis berukuran lebih besar dari angklung diatonis, dengan bunyi khas yang lebih rendah dan mendalam.
Sajian pertunjukan angklung buncis di Kampung Adat Cireundeu tidak sekadar menampilkan musik di atas panggung, melainkan membawa pengalaman yang lebih dinamis. Para pemain memainkan angklung buncis sembari bergerak, berjalan, duduk, bahkan berbaring dengan formasi yang telah ditata. Alunan angklung berpadu dengan irama dogdog, alat musik perkusi yang mengatur tempo dan dinamika pertunjukan, layaknya kendang dalam ansambel gamelan.
Pertunjukan dimulai dengan para pemain yang masuk ke arena secara berlarian, mengikuti irama dogdog sebagai aba-aba. Mereka lalu memainkan melodi pembuka sebagai tanda dimulainya pertunjukan. Alunan nada angklung buncis terus mengalir dalam pola melodi yang berulang, menciptakan suasana meditatif yang memikat. Sesekali, terdengar senggak (teriakan khas) yang membangkitkan semangat, serta gerakan lincah anak-anak yang menari secara eksploratif, menambah daya tarik pertunjukan. Meskipun terdengar sederhana, kesenian ini begitu ekspresif dan mampu membangkitkan energi bagi penonton dan pemainnya.
Pemain angklung buncis mayoritas adalah anak-anak dan remaja, sementara dogdog dimainkan oleh orang dewasa sebagai pengatur alur musik. Wajah-wajah ceria mereka memancarkan kegembiraan yang tulus, menambah kesan riang dan hidup dalam setiap pertunjukan. Suara tabuhan dogdog yang khas menjadi penanda berakhirnya pementasan, meninggalkan kesan mendalam bagi siapa saja yang menyaksikannya.
Ketika pandemi melanda, pertunjukan angklung buncis mengalami penyesuaian. Tidak lagi digelar secara terbuka bagi banyak orang, tetapi hanya dalam lingkup kecil masyarakat Kampung Adat Cireundeu. Upacara panen pun dilaksanakan secara simbolis, dengan hasil panen yang diserahkan langsung kepada sesepuh adat. Namun, keterbatasan ini tidak menyurutkan semangat para pemain untuk terus berkarya. Latihan tetap berjalan rutin, memastikan kesenian ini tidak luntur oleh zaman.
Kang Jajat, salah satu tokoh yang menjaga tradisi ini, berharap agar generasi muda terus melestarikan angklung buncis. Pengakuan angklung sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO seharusnya menjadi penyemangat bagi anak-anak muda untuk mencintai dan mempelajari seni tradisional. Di penghujung sebuah video dokumentasi, Kang Jajat bahkan mengajak generasi muda untuk datang dan belajar langsung angklung buncis di Cireundeu.
Namun, di tengah upaya pelestarian ini, muncul pertanyaan besar: mengapa kesenian tradisional seperti angklung buncis sulit berkembang dan mendapatkan lebih banyak peminat? Apakah takdir semua kesenian tradisional adalah semakin terpinggirkan? Apakah mereka hanya akan dikenang melalui laporan akademis, tanpa generasi penerus yang benar-benar menghidupkannya? Atau masih adakah harapan untuk mempertahankan keberadaannya dalam kehidupan modern?
Pertanyaan ini menjadi renungan bagi kita semua. Apakah kita hanya akan menjadi saksi hilangnya sebuah warisan, atau justru menjadi bagian dari upaya menghidupkan kembali kekayaan budaya yang luar biasa ini? Hanya waktu yang bisa menjawab, tetapi satu hal yang pasti: selama masih ada mereka yang peduli, angklung buncis akan terus berbunyi, menggema, dan hidup di hati para pencintanya.