Awug Cibeunying (sumber : twitter/Sulistriadi) |
Kota Bandung, selain dikenal dengan pesona alam dan kreativitas warganya, juga menjadi surga bagi para pecinta kuliner. Dari jajanan kaki lima hingga hidangan restoran mewah, kota ini menawarkan beragam cita rasa yang menggugah selera. Namun, di tengah menjamurnya makanan modern, kuliner tradisional Sunda tetap bertahan, salah satunya adalah Awug—penganan khas yang tak hanya mengenyangkan, tetapi juga sarat akan makna budaya.
Awug sudah dikenal sejak lama di kalangan masyarakat Sunda, khususnya di Bandung dan sekitarnya. Makanan ini kerap hadir dalam berbagai acara adat dan perayaan keluarga, menjadi simbol kebersamaan yang tak lekang oleh waktu. Terbuat dari tepung beras (paré) yang dicampur dengan air, garam, gula merah, dan kelapa parut, awug dimasak dengan cara dikukus dalam aseupan—sebuah kukusan khas berbahan anyaman bambu yang memberikan aroma alami pada adonannya. Teksturnya yang lembut berpadu dengan rasa manis khas gula merah dan gurihnya kelapa, menciptakan harmoni rasa yang sederhana namun begitu menggoda.
![]() |
Awug Cibeunying (sumber : bandung.go.id) |
Salah satu tempat legendaris yang mempertahankan cita rasa awug asli adalah Awug Cibeunying, sebuah kedai kecil di Jalan Ahmad Yani, Bandung, tepat di seberang Balai Besar Tekstil. Meski lokasinya sederhana, warung ini tak pernah sepi pengunjung. Setiap hari, aroma awug yang baru matang menyeruak, menggoda siapa saja yang melintas. Di balik kelezatannya, ada sosok Ajang Muhidin, sang pemilik yang telah menggeluti usaha ini sejak tahun 1980 bersama sang istri. Kini, Ajang tidak lagi sendiri. Empat anaknya turut membantu menjaga keberlangsungan usaha, memastikan bahwa warisan kuliner ini tetap lestari di tengah persaingan industri makanan modern.
Namun, Awug Cibeunying bukan hanya tentang awug. Di sini, beragam jajanan tradisional lainnya juga tersedia, seperti putri noong, nasi ketan putih, nasi ketan hitam, adas, lupis, putu mayang, kelepon, ali agrem, ongol-ongol, moci, gurandil, jiwel, jalabria, naga sari, moho, gemblong, hingga bugis. Semua dibuat dengan resep turun-temurun, menjaga autentisitas rasa yang khas dan sulit ditemukan di tempat lain. Tak heran, pelanggan setia dari berbagai generasi terus berdatangan, mencari kenangan masa kecil dalam setiap gigitan.
Kedai ini buka dari pukul 09.00 hingga 21.00, menjadi persinggahan bagi siapa saja yang ingin mencicipi kuliner tradisional khas Sunda. Ajang berharap, awug dan jajanan tradisional lainnya bisa terus bertahan, bukan sekadar sebagai makanan, tetapi juga sebagai bagian dari identitas budaya yang harus dijaga. “Sekarang banyak makanan baru, tapi kalau kita nggak jaga, makanan khas kita bisa hilang. Saya ingin anak-anak muda juga kenal dan suka awug,” ujarnya dengan penuh harapan.
Awug bukan sekadar kue, melainkan warisan yang membawa cerita di setiap gigitannya. Di tengah gempuran kuliner modern, menjaga keberadaannya adalah cara untuk tetap menghargai sejarah dan kekayaan kuliner lokal. Dan selama masih ada tangan-tangan yang dengan penuh cinta membuatnya, awug akan terus hidup, menyapa setiap generasi dengan cita rasa khas yang tak terlupakan.