Wisma Wisnu Wardhani, Jejak Sejarah yang Masih Berdiri Kokoh di Sukabumi

Jabar Tourism
3 minute read
0

Wisma Wisnu Wardhani (sumber : Facebook/Irwan Irhas Nurly)

Di tengah hiruk-pikuk Kota Sukabumi, berdiri sebuah bangunan bersejarah dengan arsitektur khas Indische Empire. Bangunan megah ini tidak sekadar menjadi peninggalan masa kolonial, tetapi juga menyimpan kisah tragis seorang notaris Belanda, Hendrik (Harry) Schotel. Tidak banyak yang tahu, rumah yang kini dikenal sebagai Wisma Wisnu Wardhani itu pernah menjadi tempat di mana Schotel mengukir kejayaan sekaligus mengalami titik terendah dalam hidupnya.


Schotel mulai menapaki kariernya sebagai notaris di Batavia sebelum akhirnya pindah ke Sukabumi pada era 1920-an untuk menggantikan notaris sebelumnya, H. Tollens. Di rumah inilah ia menjalankan berbagai tugas kenotarisan, mulai dari transaksi jual beli tanah, perubahan kepemilikan bangunan, hingga pembuatan akta kelahiran.


Salah satu jasa besarnya yang tercatat dalam sejarah adalah pengurusan tanah perkebunan teh yang membentang dari perbatasan Cianjur hingga Bogor. Pada masa kolonial Hindia Belanda, Sukabumi menjadi pusat aktivitas perkebunan, dan Schotel berperan penting dalam mengatur legalitas hak guna usaha bagi para pengusaha saat itu.


“Dokumen pertanahan dari kaki Gunung Gede hingga Pantai Palabuhanratu semuanya diurus oleh beliau di rumah ini,” ungkap Ketua Yayasan Dapuran Kipahare, Irman Firmansyah, beberapa waktu lalu.


Kariernya semakin cemerlang saat ia mulai aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan olahraga. Schotel terlibat dalam dunia sepak bola dan bahkan menjabat sebagai Ketua Kehormatan dalam pertandingan antar kota. Selain itu, ia pernah menjabat sebagai Presiden Asosiasi Indo Eropa (IEV) serta memiliki peran penting dalam perkembangan bisnis perkebunan di Sukabumi. Kemampuannya membangun hubungan dengan para pengusaha dan pejabat kolonial membuat namanya semakin diperhitungkan.


Tragedi yang Mengubah Hidup Schotel

Namun, di balik kesuksesannya, kehidupan Schotel berubah drastis akibat sebuah insiden tragis. Pada Mei 1928, putrinya mengalami kecelakaan fatal di Batavia yang menjadi titik balik kehidupannya.


Hari itu, sang putri bersama ibunya dan sopirnya berangkat dari Sukabumi ke Batavia dengan mobil Buick berkapasitas tujuh penumpang. Sekitar pukul 14.00 WIB, mereka melintasi persimpangan Menteng-Nieuw Gondangdia tanpa menyadari adanya trem listrik yang tengah melaju.


Sopir yang terkejut mendadak mengerem, namun terlambat. Trem menghantam bagian belakang mobil, membuat kendaraan terlempar dan menghantam tiang lampu lalu lintas. Benturan keras menyebabkan kerusakan parah pada mobil, baik di bagian depan maupun belakang.


Kabar kecelakaan itu segera sampai ke telinga Schotel. Ia yang berada di Sukabumi langsung terguncang dan mengalami tekanan mental yang luar biasa. Kesedihan mendalam membuat kesehatannya menurun drastis.


Dalam kondisi yang semakin memburuk, Schotel terpaksa mengambil cuti pada 29 November 1929. Namun, kondisi fisiknya tak kunjung membaik, sehingga ia akhirnya diberhentikan dari jabatannya sebagai notaris dan digantikan oleh A.W.F. Bakker.


Kehilangan pekerjaan membuat keluarga Schotel mengalami kesulitan finansial. Mereka harus menjual aset-aset yang dimiliki demi bertahan hidup. Situasi ini semakin memperparah beban mental yang dialami Schotel.


Pada 12 Juli 1932, Hendrik Schotel menghembuskan napas terakhirnya di usia 56 tahun. Pemakamannya dihadiri oleh berbagai tokoh penting, termasuk Asisten Residen Sukabumi, Wali Kota Sukabumi, serta perwakilan dari asosiasi bisnis dan organisasi Indo Eropa.


“Beliau meninggal karena kesedihan akibat kecelakaan putrinya di Gondangdia, Jakarta. Karena itu, banyak orang menyebut rumah ini sebagai ‘spooky house’ atau rumah berhantu. Tapi sejauh ini tidak ada hal mistis, hanya saja bangunan ini menyimpan banyak cerita,” ujar Irman Firmansyah.


Bangunan tempat tinggal Schotel yang terletak di Jalan Bhayangkara No. 219, Kota Sukabumi, masih berdiri tegak hingga kini. Meski fungsi dan namanya telah berubah menjadi Wisma Wisnu Wardhani dan Setukpa Lemdiklat Polri, sejarah yang melekat pada bangunan ini tetap menjadi bagian dari warisan Kota Sukabumi.


Bagi wisatawan atau pecinta sejarah, bangunan ini bukan hanya sekadar peninggalan kolonial, tetapi juga saksi bisu perjalanan hidup seorang notaris yang pernah berjaya, sebelum akhirnya jatuh dalam kesedihan mendalam akibat kehilangan yang begitu besar.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)