![]() |
Masjid Jagabayan Cirebon |
Siap sangka dibalik hiruk-pikuk pertokoan di Jalan Karanggetas, Cirebon, berdiri sebuah bangunan sederhana yang menyimpan kisah bersejarah di masa silam. Masjid Jagabayan, nama yang mungkin asing di telinga sebagian orang, namun menyimpan peran besar dalam perjalanan dakwah Islam di tanah Cirebon. Tak hanya sebagai tempat ibadah, masjid ini juga diyakini sebagai salah satu titik penting pertemuan para Wali Songo—sekelompok ulama besar penyebar Islam di tanah Jawa.
Nama "Jagabayan" sendiri berasal dari masa Kesultanan Cirebon, tepatnya di era kepemimpinan Sunan Gunung Jati (1479–1568). Dulunya, kawasan ini merupakan pos jaga di utara wilayah kesultanan yang strategis. Lokasinya berada di sudut perempatan, menjorok dari jalan besar, tersembunyi di antara ruko-ruko yang padat. Namun begitu memasuki gang kecil menuju masjid, nuansa sakral dan ketenangan langsung menyergap.
Konon, masjid ini dibangun oleh Pangeran Nalarasa, utusan dari Prabu Siliwangi—penguasa Kerajaan Padjajaran. Tugas awalnya adalah mencari Pangeran Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi, yang saat itu mendirikan wilayah kekuasaan baru tanpa restu Padjajaran. Namun takdir berkata lain. Sesampainya di Cirebon, Pangeran Nalarasa justru bertemu dengan para santri dan secara tak langsung berjumpa pula dengan Walangsungsang—yang tak ia sadari adalah orang yang tengah dicarinya.
Pertemuan tersebut justru mengubah jalan hidup sang pangeran. Terpikat oleh ajaran Islam yang diajarkan di tempat itu, Nalarasa memutuskan untuk memeluk Islam. Ia tak kembali ke Padjajaran, melainkan berguru pada Pangeran Walangsungsang dan kemudian bertemu Sunan Gunung Jati. Atas pengabdiannya, ia diberi gelar Tumenggung Jagabayan—penjaga yang melindungi dari mara bahaya.
Pos jaga yang ia bangun pun perlahan berubah menjadi sebuah tempat ibadah. Bentuknya sederhana, berdenah persegi panjang dengan ukuran sekitar 8,5 x 6 meter, atap limasan dua susun dengan puncak memolo tradisional dari tanah liat yang dibakar. Meski kecil, bangunan ini menyimpan aura keagungan masa lalu. Tak heran jika masyarakat setempat lebih menyebutnya sebagai “tajug”—sebutan khas untuk masjid kecil yang memiliki nilai spiritual tinggi.
Bagi masyarakat Cirebon dan sekitarnya, Masjid Jagabayan bukan hanya tempat salat. Tempat ini juga sering menjadi tujuan spiritual bagi mereka yang mencari berkah dan keselamatan. Salah satu tradisi yang masih lestari adalah sedekah minyak kelapa. Para peziarah datang membawa minyak, berdoa bersama penjaga masjid, dan memohon perlindungan dari Allah SWT.
Di halaman masjid, terdapat pula sebuah sumur tua yang disebut Sumur Keramat. Air dari sumur ini diyakini membawa berkah. Banyak orang dari luar kota datang membawa air sumur untuk digunakan dalam berbagai hajat, mulai dari syukuran tujuh bulanan, mendirikan rumah, memulai usaha, hingga sebagai wasilah untuk meraih jabatan.
Setiap malam Jumat Kliwon, suasana di masjid ini berubah menjadi sangat khidmat. Para peziarah berkumpul, bertawasul bersama, memanjatkan doa-doa untuk para wali dan leluhur. Menurut Muhammad Faozan, juru kunci masjid, semua keberkahan yang diyakini itu tidak lepas dari karomah para Wali Songo yang dikenal sebagai hamba pilihan Allah SWT.
Masjid Jagabayan mungkin tak sebesar masjid agung di kota-kota besar. Namun nilai sejarah dan spiritual yang melekat padanya membuatnya istimewa. Ia menjadi simbol keteguhan dakwah Islam di masa lalu, bukti bahwa agama ini disebarkan lewat pendekatan damai dan kebijaksanaan para wali.
Kini, meski usianya telah ratusan tahun, Masjid Jagabayan masih berdiri teguh. Ia bukan hanya bangunan tua, melainkan saksi bisu semangat perjuangan dan penyebaran Islam di tanah Cirebon. Sebuah warisan yang patut dijaga, dikenang, dan dijadikan inspirasi bagi generasi masa kini.