![]() |
Situs Tugu Gede Cengkuk (sumber : google maps/Rini Panggabean) |
Dibalik rindangnya pohon-pohon dan tenangnya perkampungan adat, situs ini menyimpan jejak panjang kehidupan masyarakat Sunda kuno. Tak banyak yang tahu, tapi di sinilah salah satu situs megalitik paling lengkap se-Kabupaten Sukabumi berada. Bahkan, menurut peneliti, Tugu Gede Cengkuk menjadi satu dari delapan situs prasejarah unggulan berskala nasional. Masih jarang terdengar gaungnya, namun siapa pun yang datang pasti akan merasa seperti ditarik kembali ke masa ribuan tahun lalu.
Jejak Leluhur di Bumi Adat
Begitu tiba di Kampung Cengkuk, rombongan disambut dengan arsitektur rumah yang khas. Bentuknya menyerupai Imah Gede, rumah tradisional masyarakat adat Banten Kidul. Ini bukan kebetulan semata—kampung ini memang masih berada di bawah naungan Kesatuan Adat Banten Kidul, tepatnya Kasepuhan Gelar Alam yang dahulu dikenal dengan nama Cipta Gelar. Di sini, adat bukan sekadar warisan, melainkan bagian dari napas kehidupan.
Pemandangan leuit atau lumbung padi mudah ditemukan, berdiri berdampingan dengan rumah warga. Kehidupan agraris yang sakral masih dijaga erat oleh masyarakat setempat. Tak jauh dari situ, Situs Tugu Gede Cengkuk menunggu untuk diceritakan kembali—tak hanya lewat batu, tapi lewat kisah para penjaganya.
Menhir, Batu Dakon, dan Ingatan Kolektif
Situs ini menyimpan beragam jenis batu megalitik: menhir, dolmen, batu dakon, batu saji, batu lesung, hingga batu jolang. Semuanya terawat dan dibiarkan tetap berada di tempatnya, seolah menjadi saksi bisu kehidupan ribuan tahun silam. Bahkan, terdapat menhir raksasa yang tingginya mencapai 4 meter—sebuah penanda betapa peradaban kala itu sudah mengenal sistem simbolik dan spiritualitas yang mendalam.
Sebelum masuk ke area inti situs, pengunjung akan melewati sebuah rumah informasi. Plang bertuliskan “Information Home Situs Tugu Gede Cengkuk” menyambut dengan sederhana. Di dalamnya, tersimpan berbagai artefak dan pengetahuan mengenai kehidupan masa lampau. Sayangnya, tak semua bisa dijelaskan secara ilmiah. Menurut Abah Sujaya atau yang akrab disapa Abah Jaya, juru pelihara situs berusia 70 tahun, asal-usul peninggalan ini masih menjadi bahan diskusi panjang para peneliti dan arkeolog.
“Saya berani bilang ini usianya sudah lebih dari 10 ribu tahun sebelum masehi. Tapi para peneliti masih ragu menyebut angka pastinya. Mereka bilang bisa 6 ribu, bisa juga 8 ribu tahun sebelum masehi,” tutur Abah Jaya saat ditemui.
Warisan yang Diperoleh Lewat Darah dan Cerita
![]() |
Situs Tugu Gede Cengkuk (sumber : google maps/Bejo Hade) |
Pengetahuan yang dimiliki Abah Jaya bukan hasil bangku sekolah, melainkan warisan yang mengalir dari para leluhurnya. “Bapak saya dulu menjelaskan sejarah dari abad ke abad sebelum beliau meninggal. Dari situlah saya paham hubungan kita dengan masa lalu, bahkan sampai pada kaitannya dengan Prabu Siliwangi,” katanya.
Keberadaan peneliti dari Badan Arkeologi yang datang ke wilayah ini juga sangat membantu. Kolaborasi antara pengetahuan lokal dan pendekatan ilmiah membuat sejarah situs ini menjadi semakin kaya. “Anak-anak saya juga jadi lebih paham. Mereka sekarang tahu bahwa benda-benda ini bukan sekadar batu biasa,” ucapnya sambil menunjuk sejumlah artefak—ada yang asli, ada pula yang berupa replika dan disimpan dengan rapi di kamar ritual di dalam rumahnya.
“Ini tombak batu untuk berburu. Kalau ini alat untuk meracik obat-obatan. Yang ini prasasti, replikanya. Yang asli saya simpan di dalam,” ujarnya penuh semangat.
Prasasti yang dimaksud Abah menggambarkan Dewi Pohaci—sosok dewi kesuburan yang amat dijunjung tinggi di kampung ini. Masyarakat adat percaya bahwa Dewi Padi adalah lambang kehidupan. Tak heran, mereka memperlakukan padi bukan sebagai komoditas, melainkan sebagai anugerah. “Kami menanam padi bukan untuk dijual, tapi untuk dimakan sendiri. Kalau dijual, takut kena tulah,” kata Abah Jaya dengan nada serius.
Merawat Masa Lalu untuk Masa Depan
Situs Tugu Gede Cengkuk bukan sekadar kumpulan batu kuno, melainkan ruang hidup bagi cerita yang diwariskan secara turun-temurun. Di tengah derasnya arus modernisasi, tempat ini menjadi pengingat bahwa sejarah tak selalu ditemukan di balik rak museum, tapi juga di halaman rumah dan tanah tempat kita berpijak.
Mengunjungi situs ini bukan hanya soal berwisata sejarah, tapi juga soal menyelami akar budaya, menghormati tanah leluhur, dan mendengarkan bisikan masa lalu yang tak pernah benar-benar diam.