![]() |
Tahu Bungkeng Khas Sumedang (sumber : pinterest) |
Di setiap gigitan tahu Sumedang, tersimpan lebih dari sekadar rasa gurih dan tekstur renyah. Ada warisan panjang yang menjembatani zaman, dari tangan-tangan pertama perantau Tionghoa yang membawa resep tahu ke tanah Jawa, hingga racikan turun-temurun yang bertahan lebih dari satu abad. Tak sekadar camilan pinggir jalan atau lauk pelengkap makan siang, tahu Sumedang adalah potongan kecil dari sejarah budaya kuliner Nusantara—yang terus hidup dan berkembang di tengah gempuran makanan modern.
Masyarakat Sumedang tak hanya menjual makanan, mereka merawat cerita. Tahu di kota ini bukan hanya soal rasa, tapi juga tentang bagaimana sebuah resep bisa menjadi identitas kota, bahkan ikon kebanggaan warga. Siapa sangka, sepotong tahu yang tampak sederhana itu punya cerita panjang, mulai dari kerajaan besar di Tiongkok hingga menyeberangi lautan dan mengakar kuat di sebuah kota kecil di Jawa Barat?
Gurih dan Legendaris: Kisah Panjang Tahu Sumedang
Murah meriah tapi kaya gizi—itulah pesona tahu, bahan makanan yang selalu punya tempat di hati banyak orang. Terbuat dari kacang kedelai yang kaya akan protein nabati, tahu menjadi makanan serbaguna untuk segala usia, terutama anak-anak dalam masa tumbuh kembang. Bisa diolah menjadi pepes, bacem, atau yang paling populer: digoreng hingga renyah di luar dan lembut di dalam. Di antara banyak varian tahu goreng, tahu Sumedang menempati posisi istimewa.
Tahu sendiri sejatinya bukan asli Indonesia. Makanan ini berasal dari Tiongkok dan dikenal dengan nama doufu. Menurut William Shurtleff dan Akiko Aoyagi dalam buku History of Tofu, istilah ini pertama kali disebut dalam naskah kuno Ch’ing I Lu karya T’ao Ku sekitar tahun 950 Masehi. Seiring waktu, tahu menyebar ke berbagai penjuru Asia, termasuk Indonesia, melalui jalur dagang dan migrasi dari daerah perbatasan Fujian-Guangdong.
Para perantau Tionghoa yang menetap di Nusantara membawa serta keterampilan membuat tahu. Walaupun tidak dapat dipastikan kapan pertama kali tahu masuk Indonesia, kota Kediri mengklaim sebagai daerah pertama yang mengenalnya, berdasarkan jejak sejarah kedatangan armada Kubilai Khan tahun 1292. Bahkan sampai kini, lokasi pendaratan armada itu masih dikenal sebagai Jung Biru, yang konon menjadi tempat pertama tahu diperkenalkan dan dibuat.
Secara linguistik, istilah “tahu” berasal dari bahasa Tionghoa tao-hu atau teu-hu, yang berarti kedelai yang dihancurkan menjadi bubur. Proses pembuatannya pun cukup sederhana, sehingga tahu dengan cepat menyebar dan disukai semua kalangan masyarakat. Dari situ lahirlah beragam varian tahu lokal seperti tahu Kediri, tahu Tegal, tahu Bandung, hingga yang paling terkenal: tahu Sumedang.
Tahu Sumedang menjadi ikon kuliner khas Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Meski kini banyak yang memproduksinya, nama yang paling melekat adalah tahu buatan keluarga Ong Boen Keng, perintis usaha tahu yang telah eksis sejak lebih dari satu abad lalu. Awalnya, Ong Kino—ayah Boen Keng—berjualan keripik tapioka. Namun pada tahun 1917, ia beralih membuat tahu secara tradisional dengan alat penggiling batu. Usaha tersebut kemudian diwariskan kepada putranya, dan berkembang pesat hingga mencapai produksi ribuan potong per hari pada masa jayanya.
Meski kini banyak pabrik tahu lain bermunculan, terutama dari bekas karyawan yang membuka usaha sendiri, keaslian tahu Bungkeng tetap dipertahankan. Bahkan di lokasi aslinya di Jalan 11 April, Sumedang, terdapat papan nama yang menyatakan mereka sebagai pionir tahu Sumedang sejak 1917.
Keunikan tahu Bungkeng terletak pada cita rasanya yang berbeda: gurih, segar, dan tak terlalu asam seperti kebanyakan tahu Sumedang lainnya. Disajikan bersama lontong kecil dan sambal cocol khas—perpaduan cabe rawit, tauco, dan tomat—sensasinya sulit dilupakan. Kulit luarnya berwarna coklat terang dan kasar, namun bagian dalamnya putih bersih, lembut, dan kaya rasa.
Menariknya, hingga kini proses pembuatannya masih mengandalkan cara-cara tradisional. Mulai dari perendaman kedelai selama 4-6 jam, penggilingan, perebusan, penyaringan, hingga pembentukan tahu dilakukan tanpa bantuan mesin modern atau bahan pengawet. Semua dikerjakan dengan tangan, dan tentu saja, dengan bumbu rahasia yang hanya diwariskan dari generasi ke generasi.
Tahu Sumedang bukan hanya camilan sore yang nikmat disantap hangat-hangat. Ia adalah bagian dari sejarah panjang kuliner Indonesia—yang menghubungkan budaya Tionghoa dengan kearifan lokal, menjadikan Sumedang bukan sekadar kota kecil di Jawa Barat, tapi juga sebagai Kota Tahu yang harum namanya hingga ke seluruh penjuru negeri.