![]() |
Upacara Adat Ngalaksa (sumber : facebook/Sumedang Bagus) |
Sumedang, sebuah kabupaten di Jawa Barat yang sering kali dikenal lewat tahu lezatnya, ternyata menyimpan lebih dari sekadar kekayaan kuliner. Dikelilingi lanskap perbukitan yang menawan, hamparan sawah hijau yang memesona, serta udara sejuk khas pegunungan, Sumedang menjadi destinasi yang tak hanya memanjakan mata, tetapi juga jiwa. Namun, keistimewaan Sumedang tidak berhenti pada alamnya saja. Kabupaten ini juga menjadi rumah bagi tradisi dan budaya Sunda yang masih terjaga hingga kini.
Dari berbagai tradisi yang masih lestari, Ngalaksa adalah salah satu yang paling memikat. Ini bukan sekadar seremoni adat, melainkan sebuah warisan yang memadukan spiritualitas, kebersamaan, dan seni pertunjukan rakyat. Diselenggarakan tiap tahun oleh masyarakat adat Rancakalong, tradisi ini menjadi lambang rasa syukur atas panen padi yang melimpah. Dan bukan hanya warga lokal yang terlibat, wisatawan pun kini mulai berdatangan untuk menyaksikan dan merasakan langsung makna dari budaya yang begitu sakral ini.
Ngalaksa: Upacara Syukur yang Sarat Makna
Di Desa Wisata Rancakalong, Sumedang, tiap awal Juli, suasana berubah menjadi lebih hidup dan penuh warna. Warga berbondong-bondong mengenakan pakaian adat, membawa hasil bumi, dan memainkan kesenian tradisional seperti rengkong — alat musik sekaligus alat pengangkut gabah yang khas. Semua itu menjadi bagian dari Ngalaksa, sebuah upacara adat masyarakat agraris yang kini telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Kebudayaan.
Awalnya, Ngalaksa digelar secara pribadi oleh keluarga petani di tempat sunyi sebagai bentuk rasa syukur atas panen. Kini, seiring waktu dan nilai budaya yang terus dijaga, tradisi ini berubah menjadi perayaan kolektif tahunan yang dijalankan bergilir oleh lima komunitas adat — atau yang disebut Rurukan — di wilayah Rancakalong: Rurukan Rancakalong, Nagarawangi, Pamekaran, Pasir Biru, dan Cibunar. Titik pusatnya adalah Desa Wisata Rancakalong, yang disulap menjadi panggung budaya rakyat.
Persiapan: Harmoni dalam Gotong Royong
Sebelum hari pelaksanaan, rangkaian kegiatan dimulai dengan Bewara — pengumuman resmi jadwal upacara melalui musyawarah para sesepuh, yang kemudian disebarluaskan kepada masyarakat, baik secara lisan maupun lewat pengeras suara masjid hingga surat resmi. Setelah itu, warga diajak berpartisipasi melalui tahap Ngahayu, sebuah ajakan kolektif untuk menyumbangkan bahan kebutuhan upacara, dari buah-buahan hingga kelapa dan beras. Semua bahan ini dikumpulkan di rumah ketua Rurukan, sebagai titik pusat persiapan.
Selanjutnya, tahap Mera atau Ngagunuk bahan dimulai. Di sini, ketua Rurukan membagi tugas kepada warga: siapa yang mencari kayu bakar, siapa yang mengambil daun congkok dari hutan, hingga siapa yang bertugas menyiapkan alat upacara. Suasana penuh kekeluargaan dan semangat gotong royong begitu terasa pada setiap tahapnya.
Puncak Acara: Tradisi dan Seni yang Hidup
Saat hari pelaksanaan tiba, Ngalaksa dibuka dengan seremoni resmi yang biasanya dihadiri oleh pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, hingga seniman daerah. Simbol utama prosesi ini adalah penyerahan Babon — simbol warisan dan tanggung jawab adat — dari Rurukan sebelumnya ke Bupati Sumedang, lalu diteruskan ke Rurukan pelaksana tahun itu. Setelahnya, Babon diarak menuju Desa Wisata, diiringi alunan musik Tarawangsa, seni musik sakral khas Sunda yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual.
Tarian adat dibawakan oleh Saehu Pameget dan pasangannya sebagai pembuka, kemudian diikuti oleh para tamu undangan, menciptakan suasana magis penuh khidmat. Inilah saat di mana tradisi, seni, dan spiritualitas menyatu dalam harmoni.
Membuat Laksa: Proses Panjang Penuh Makna
Salah satu puncak ritual adalah pembuatan laksa, makanan tradisional berbahan dasar beras yang menjadi simbol persembahan dan bekal kehidupan. Proses ini memakan waktu hingga enam hari, dimulai dari Meuseul Bakal (menumbuk padi), Ngibakan (mencuci beras), Nginebkeun (menyimpan beras dengan daun combrang), hingga Nipung (membuat tepung beras), mencampur adonan, dan memasaknya dalam daun congkok. Masyarakat kemudian bersama-sama menikmati hasilnya sebagai bentuk kebersamaan dan berkah panen.
Lebih dari sekadar ritual panen, Ngalaksa adalah cerminan nilai luhur yang terus dijaga masyarakat Sumedang. Di dalamnya terpatri semangat gotong royong, silaturahmi, rasa hormat pada leluhur, dan tentu saja, rasa syukur kepada Sang Pencipta. Tradisi ini bukan hanya memperkuat identitas lokal, tetapi juga menjadi perekat sosial yang menghidupkan semangat kebersamaan lintas generasi.
Ngalaksa adalah bukti nyata bahwa budaya bukan sekadar masa lalu, melainkan nafas kehidupan yang terus tumbuh bersama masyarakatnya. Dan selama masyarakat Sumedang terus merawatnya, Ngalaksa akan tetap menjadi denyut budaya yang tak akan lekang oleh waktu.