![]() |
Curug Dago (sumber : goole maps/Maharani G) |
Tak banyak yang menyangka bahwa di balik semarak Kota Bandung yang modern dan dinamis, tersembunyi sebuah tempat yang menyimpan potongan sejarah dunia. Tempat itu adalah Curug Dago—sebuah air terjun mungil yang mungkin tak setenar wisata alam lainnya di Jawa Barat, namun memiliki kisah yang menghubungkan dua bangsa, dua budaya, dan dua zaman yang berbeda. Di tengah rimbunnya pepohonan dan gemericik air yang jatuh dari ketinggian 12 meter, Curug Dago menyimpan jejak kaki seorang raja dari negeri seberang, yang sempat menginjakkan kaki di sini lebih dari seabad lalu.
Tak hanya menyegarkan mata dengan pemandangan hijau dan suara alam yang menenangkan, Curug Dago juga menyuguhkan narasi bersejarah yang tak kalah menarik dari dongeng klasik. Siapa sangka, Raja Chulalongkorn dari Thailand—atau yang lebih dikenal sebagai Raja Rama V—pernah singgah ke tempat ini dalam perjalanan diplomatiknya ke Hindia Belanda pada akhir abad ke-19? Dan peninggalannya berupa prasasti masih berdiri kokoh hingga kini, menjadi saksi bisu dari sebuah kunjungan bersejarah yang membentangkan jembatan persahabatan antara dua negara.
Jejak Sejarah yang Mengalir Bersama Alam
Terletak di kawasan Dago, tepatnya di Kampung Curug Dago, Kelurahan Ciumbuleuit, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung, Curug Dago memang menawarkan lebih dari sekadar wisata alam. Lokasinya yang relatif dekat dari pusat kota menjadikannya destinasi ideal bagi warga Bandung maupun wisatawan luar yang ingin rehat sejenak dari hiruk-pikuk kehidupan urban.
Meski ukurannya tak begitu besar, air terjun ini dikelilingi suasana alami yang meneduhkan. Pepohonan rindang, suara burung yang bersahut-sahutan, dan udara segar khas pegunungan membentuk latar yang sempurna untuk sebuah pelarian sejenak dari realitas kota. Namun yang membuat Curug Dago benar-benar istimewa bukan hanya bentang alamnya, melainkan nilai sejarah yang terkandung di baliknya.
Di sekitar area Curug Dago, berdiri dua buah prasasti kuno yang merupakan peninggalan Raja Rama V dari Thailand. Prasasti ini ditulis dalam bahasa Thailand dan Latin, dan menjadi bukti otentik bahwa sang raja pernah mengunjungi lokasi ini pada tahun 1896. Raja Chulalongkorn dikenal sebagai pemimpin progresif yang banyak melakukan perjalanan ke luar negeri untuk mempererat hubungan antarbangsa serta mempelajari tata kelola pemerintahan negara lain.
Kehadirannya di Curug Dago bukan tanpa alasan. Selain misi diplomatik, kunjungan ini juga mencerminkan kekaguman beliau terhadap alam dan budaya Nusantara. Bagi sang raja, tempat ini bukan sekadar lokasi persinggahan, melainkan ruang refleksi yang menginspirasi—dan itu ia abadikan melalui prasasti yang kini menjadi daya tarik sejarah di tengah gemuruh alam.
Simbol Diplomasi yang Terlupakan
Bisa dikatakan, Curug Dago adalah salah satu dari sedikit tempat wisata alam yang juga berfungsi sebagai situs sejarah diplomatik. Hubungan antara Kerajaan Siam (Thailand) dan Hindia Belanda yang terjalin lewat kunjungan Raja Rama V, menjadikan air terjun ini bukan sekadar tempat bersantai, melainkan juga ruang kontemplasi tentang perjalanan lintas budaya dan waktu.
Sayangnya, pesona Curug Dago masih belum banyak diketahui publik. Minimnya promosi dan kurangnya informasi membuat situs ini seolah tertinggal dari sorotan. Padahal, justru di balik kesederhanaannya, Curug Dago menyimpan kekayaan yang luar biasa—baik dari sisi alam maupun sejarah.
Di tengah gempuran destinasi digital yang mengandalkan estetika visual semata, Curug Dago hadir sebagai pengingat bahwa sebuah tempat bisa bermakna lebih dalam jika kita mau menggali kisah di baliknya. Generasi muda, terutama, punya tanggung jawab untuk menjaga dan mengenal warisan ini. Karena sejarah bukan hanya milik masa lalu—ia hidup di antara kita, lewat jejak, prasasti, dan tempat-tempat seperti Curug Dago.
Jadi, jika suatu hari Anda berada di Bandung dan ingin mencari tempat yang menenangkan sekaligus memperkaya wawasan, berjalanlah ke arah Dago. Di sana, di tengah bisikan angin dan denting air, sejarah dan alam menyatu dalam harmoni yang tak lekang oleh waktu.