Jejak Rasa Tahu Gejrot dari Kota Udang yang Melegenda

Jabar Tourism
0

Tahu Gejrot Cirebon (sumber : pinterest)

Di setiap sudut negeri, Indonesia menyimpan sejuta rasa yang membentuk kekayaan kuliner Nusantara. Dari makanan berat yang mengenyangkan hingga camilan ringan yang menggoda, masing-masing daerah menyuguhkan keunikan cita rasa yang mencerminkan budaya setempat. Di antara sekian banyak hidangan khas, ada satu sajian sederhana namun penuh cerita dari Cirebon, Jawa Barat—tahu gejrot.


Camilan legendaris ini lahir dari Kota Udang, nama lain bagi Cirebon. Dari tampilan saja, tahu gejrot sudah mencuri perhatian: potongan tahu goreng yang disiram kuah asam manis pedas menggoda, disajikan dalam wadah tanah liat kecil yang khas, disebut pisin. Sekali suap, sensasi rasa yang meledak di mulut membuat siapa pun jatuh hati pada penganan ini.


Tahu gejrot bukan sekadar jajanan pinggir jalan. Ia adalah bagian dari identitas kuliner masyarakat Cirebon. Di kota ini, penjual tahu gejrot mudah ditemui. Mereka menjajakan dagangannya berkeliling, membawa serta aroma khas yang menyebar menggoda. Rasanya yang unik dan harganya yang sangat terjangkau membuat tahu gejrot menjadi favorit lintas generasi.


Namun di balik kesederhanaannya, tahu gejrot menyimpan kisah sejarah yang menarik. Menurut catatan dari laman resmi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon, kuliner ini memiliki akar dari budaya masyarakat Tionghoa yang dahulu menetap di Desa Jatiseeng, Kecamatan Ciledug, Cirebon. Mereka tinggal dekat sungai Cisanggarung agar lebih mudah menjalankan aktivitas ekonomi melalui jalur air, terutama dengan perahu.


Memasuki abad ke-18, masyarakat keturunan Tionghoa mulai memperkenalkan tahu gejrot ke lingkungan sekitar. Awalnya, makanan ini disajikan oleh para saudagar sebagai bekal bagi para buruh dan pekerja. Karena disajikan dalam porsi kecil, digunakanlah piring tanah liat mungil sebagai wadahnya—praktis dan ekonomis. Dari sinilah, tahu gejrot perlahan menyebar dan diterima masyarakat Ciledug. Puncak kepopulerannya terjadi ketika sajian ini diikutsertakan dalam upacara di Klenteng Jamblang, sebagai bagian dari tradisi persembahan.


Tapi dari mana sebenarnya nama "tahu gejrot" berasal? Ada dua versi cerita yang berkembang. Versi pertama menyebutkan bahwa nama itu muncul dari suara khas saat kuah gula merah dituangkan di atas tahu goreng—"jrot-jrot" begitu bunyinya, hingga akhirnya dinamakan tahu gejrot. Sementara versi lain menyebutkan bahwa istilah "ngegejrot" berasal dari bahasa Sunda yang menggambarkan rasa yang sangat pedas—pedas yang menyengat, membuat keringat bercucuran.


Soal rasa, tahu gejrot memang juara. Bahan-bahannya sederhana: tahu goreng yang dipotong kecil-kecil, lalu disiram kuah khas yang diracik dari cabai rawit, bawang merah, petis, sedikit asam jawa, dan gula merah yang dilarutkan dalam air. Rasa yang dihasilkan? Kombinasi antara manis, gurih, asam, dan pedas yang begitu seimbang. Tiap elemen berpadu menciptakan sensasi rasa yang sulit dilupakan.


Kini, tahu gejrot tak hanya dikenal di kampung halamannya saja. Ia sudah merantau ke berbagai kota besar di Indonesia, bahkan ikut meramaikan festival kuliner Nusantara. Tapi satu hal yang tak berubah: tahu gejrot tetap menjadi simbol kekayaan rasa yang bersumber dari sejarah, tradisi, dan cinta akan kuliner lokal.


Jika suatu hari Anda berkunjung ke Cirebon, jangan lewatkan kesempatan mencicipi tahu gejrot dari tangan penjual aslinya. Di balik kesederhanaannya, ada rasa, ada cerita, dan ada warisan budaya yang tetap hidup dari generasi ke generasi.


Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)