![]() |
Kesenian Benjang (sumber : facebook/GetihSunda Reel) |
Jawa Barat memang kaya akan seni tradisi. Setiap sudutnya menyimpan cerita budaya yang tak hanya menghibur, tapi juga sarat makna. Mulai dari suara angklung yang merdu hingga tarian meriah di atas kuda renggong, setiap ekspresi seni seperti berbicara tentang kehidupan dan jiwa masyarakat Sunda. Salah satu warisan budaya yang unik dan jarang disorot adalah Benjang—sebuah pertunjukan tradisional khas Bandung Timur yang memadukan irama musik, gerakan beladiri, dan semangat gotong royong.
Benjang bukan sekadar tontonan. Ia adalah cerminan kehidupan masyarakat di wilayah timur Kota Kembang—seperti di Cileunyi, Ujung Berung, Cibiru, Cilengkrang, hingga Cimenyan. Tradisi ini hidup di tengah masyarakat, hadir dalam helaran, syukuran, hingga prosesi khitanan. Meskipun zaman terus berubah, Benjang tetap eksis sebagai kebanggaan warga lokal, bahkan kerap muncul hampir setiap pekan. Lantas, seperti apa sebenarnya cerita di balik kesenian unik ini?
Jejak Sejarah Benjang: Dari Perkebunan Hingga Panggung Rakyat
Menelusuri asal-usul Benjang, kita akan dibawa kembali ke akhir abad ke-19, ketika seni ini masih dikenal sebagai permainan para bujang yang bekerja di perkebunan kopi. Mereka yang tampil dalam pertunjukan ini dikenal dengan sebutan “sasamben”, dan dari sanalah lahir nama “Benjang”, singkatan dari “sasamben budak bujang”.
Awalnya, Benjang hanyalah bentuk hiburan sederhana di kalangan pekerja muda. Namun, seiring waktu, pertunjukan ini berkembang dan mulai menyerap unsur dari kesenian lain. Di awal abad ke-20, Benjang melebur dengan seni terebangan—musik Islami yang menggunakan rebana—dan seni gedut, yang merupakan versi awal dari seni beladiri lokal hasil evolusi dari rudat.
Menariknya, saat itu Benjang juga berperan sebagai ajang silaturahmi. Pertunjukan ini bukan hanya hiburan semata, tapi menjadi sarana berkumpul, berbagi cerita, dan memperkuat ikatan antarwarga. Bahkan, sekitar tahun 1923, Benjang mulai dikenal sebagai seni gulat tradisional yang disebut Benjang Gelut. Di sinilah mulai muncul unsur pertarungan fisik yang kini menjadi ciri khas Benjang.
Dari Wawaran ke Helaran: Perjalanan Menjadi Seni Arak-arakan
Salah satu fase penting dalam evolusi Benjang adalah ketika seni ini berubah menjadi bagian dari prosesi arak-arakan. Dulu, pertunjukan Benjang kerap digelar malam hari. Agar warga tahu akan ada pertunjukan, siang harinya dilakukan “wawaran”—semacam pemberitahuan keliling kampung dengan memukul alat musik khas Benjang.
Dari sinilah proses arak-arakan mulai tumbuh. Kegiatan wawaran berkembang menjadi semacam pawai kecil yang menyertakan kesenian lain seperti Kuda Lumping, Bangbarongan, dan Kesweh. Kombinasi seni-seni ini menciptakan suasana meriah yang akhirnya dikenal sebagai Benjang Helaran sejak sekitar tahun 1938.
Era keemasan Benjang terjadi antara 1955 hingga 1965. Pada masa ini, satu hari penuh bisa dipenuhi rangkaian pertunjukan Benjang: pagi hari ada Benjang Helaran, sore hari tampil Topeng Benjang, dan malam hingga dini hari ditutup dengan Benjang Gelut. Bahkan, bagian Topeng Benjang saat itu telah berevolusi menjadi semacam drama rakyat.
Sayangnya, seiring bergesernya zaman dan kebutuhan ekonomi, pertunjukan Benjang dalam bentuk utuh semakin jarang digelar. Biaya produksi, perubahan minat generasi muda, serta tekanan modernisasi membuat seni ini perlahan menyusut ruang tampilnya.
Benjang Hari Ini: Tetap Hidup, Meski Tak Lagi Utuh
Meski tak lagi semegah masa jayanya, Benjang masih menunjukkan daya tahan luar biasa. Di berbagai daerah Bandung Timur, seni ini tetap hidup dan terus dibawakan, khususnya saat ada acara khitanan atau syukuran besar. Dalam konteks kekinian, Benjang mungkin tak lagi tampil seutuh dulu, tapi esensinya tetap hadir—kebersamaan, semangat persaudaraan, dan keindahan seni tradisi.
Benjang bukan hanya pertunjukan. Ia adalah cerita kolektif sebuah masyarakat yang menjaga warisan leluhurnya dengan penuh cinta. Di tengah arus globalisasi, kehadiran Benjang menjadi pengingat bahwa budaya lokal tetap punya tempat di hati. Selama masih ada yang memainkan, menabuh, dan menyaksikan, Benjang akan terus hidup.
Jadi, kalau suatu hari kamu berjalan-jalan ke Bandung Timur dan mendengar suara tabuhan dari kejauhan, jangan ragu mendekat. Siapa tahu kamu sedang diundang untuk menyaksikan sepotong warisan budaya yang tak lekang oleh waktu—Benjang.