![]() |
Babancong di Alun-alun Garut (sumber : pinterest) |
Jika berbicara tentang Kota Garut, tentunya banyak cerita mengenai sejarah Kota Dodol ini yang mampu menghadirkan cerita masa lalu yang menarik untuk dibahas. Salah satunya adalah Babancong, bangunan mungil di kawasan Alun-alun Garut, bukan hanya sekadar saksi bisu perjalanan kota ini, tetapi juga cermin dari pergeseran zaman, dari era kolonial hingga Indonesia merdeka. Banyak warga melewatinya tanpa benar-benar tahu kisah di balik tiang-tiang tuanya. Namun, bagi yang berhenti sejenak, duduk di bawah rindangnya beringin tua, mereka mungkin akan merasakan desiran angin yang membawa cerita dari masa silam.
Berada tepat di pusat kehidupan warga Garut, Babancong kini menjadi tempat favorit untuk bersantai. Angin sejuk yang berembus dari sela-sela pohon beringin tua menjadikan tempat ini seolah ruang peristirahatan alami. Warga datang untuk sekadar duduk, bercengkerama, atau menyaksikan senja menyapu langit kota. Namun, siapa sangka, tempat sederhana ini pernah menjadi panggung penting dalam sejarah Garut—bahkan Indonesia.
Jejak Pindahnya Ibu Kota dan Lahirnya Nama "Garut"
Babancong berdiri seiring pemindahan ibu kota Kabupaten Limbangan ke lokasi yang kini kita kenal sebagai Garut. Peristiwa ini menjadi titik tolak perubahan besar di Tatar Priangan. Bersamaan dengan perpindahan itu, nama "Limbangan" resmi digantikan dengan "Garut", menandai lahirnya identitas baru untuk sebuah wilayah yang terus berkembang hingga kini.
Bangunan bersejarah ini berada di sisi selatan Alun-alun, berdiri di atas panggung kecil seluas sekitar 15 meter persegi dengan tinggi dua meter. Delapan tiang menyangga atapnya yang menyerupai payung geulis—simbol budaya Sunda yang anggun. Meski tampak sederhana, konstruksi Babancong dirancang kokoh dan simetris, mencerminkan arsitektur khas masa Hindia Belanda. Ia dibangun berbarengan dengan kompleks Pendopo, Masjid Agung, kantor karesidenan, dan alun-alun pada tahun 1813, menjadikannya bagian dari perencanaan awal ibu kota kabupaten yang baru.
Dari Tempat Istirahat Bangsawan Hingga Mimbar Sang Proklamator
Pada masa kolonial Belanda, Babancong bukan bangunan sembarangan. Ia menjadi tempat bersantai para pejabat tinggi Belanda bersama keluarga mereka, sembari menikmati pertunjukan seni dan budaya rakyat Garut yang digelar di tengah alun-alun. Dari tempat itulah, mereka menyaksikan denyut kehidupan masyarakat yang dijajah namun tetap hidup dalam semangat kebersamaan.
Namun momen paling membekas terjadi beberapa dekade kemudian, ketika Presiden Soekarno berdiri di atas panggung Babancong dan menyampaikan pidatonya di hadapan ribuan rakyat Garut. Peristiwa itu terjadi pada era 1960-an, masa ketika Garut mendapatkan penghargaan Adipura pertamanya—sebuah pengakuan nasional atas kebersihan dan keasrian kotanya. Dari sana pula, Garut mulai dikenal luas sebagai "Kota Intan".
Babancong Kini serta Harapan dan Pelestarian
Meski fungsinya kini lebih banyak sebagai tempat duduk atau podium saat upacara, Babancong tetap memiliki nilai simbolis yang tinggi. Ia menjadi pengingat tentang bagaimana sejarah tidak hanya tercetak di buku, tapi juga tertanam dalam ruang-ruang fisik yang masih berdiri hingga kini.
Masyarakat Garut berharap, bangunan ini—beserta kompleks bersejarah di sekitarnya seperti Pendopo, Alun-alun, dan bahkan sekolah perempuan pertama yang didirikan oleh tokoh emansipasi lokal, Lasminingrat—bisa dipugar dan dihidupkan kembali seperti dulu. Bayangkan jika kawasan ini dijadikan pusat wisata sejarah dan edukasi, tempat anak-anak belajar tentang identitas dan perjuangan leluhurnya, bukan hanya dari teks, tapi langsung dari tapak-tapak nyata sejarah.
Babancong mungkin kecil dalam ukuran, tapi besar dalam makna. Ia bukan hanya saksi berpindahnya ibu kota atau pidato Bung Karno. Ia adalah panggung waktu yang merekam denyut perubahan sebuah kota—dari Limbangan ke Garut, dari jajahan ke kemerdekaan, dari sejarah ke masa depan. Apakah kamu pernah duduk di Babancong dan membayangkan cerita-cerita itu?