Menyusuri Jejak Religi dan Alam di Bukit Plangon: Harmoni Ziarah, Monyet Liar, dan Sejarah yang Mengakar

Jabar Tourism
3 minute read
0
Bukit Plangon Cirebon (sumber : indonesiakaya)

Tak banyak tempat wisata yang mampu menyuguhkan nuansa spiritual, keindahan alam, dan kisah sejarah sekaligus dalam satu destinasi. Tapi di Cirebon, tepatnya di Desa Babakan, Kecamatan Sumber, ada satu lokasi yang memadukan ketiganya dengan begitu alami: Plangon. Sebuah kawasan wisata yang bukan hanya memanjakan mata dengan hijaunya alam, tapi juga menenangkan jiwa lewat napak tilas sejarah penyebaran Islam di tanah Jawa Barat. Bukit Plangon bukan sekadar tujuan rekreasi biasa—ia adalah tempat yang membuat kita betah berlama-lama, menepi dari hiruk-pikuk dunia, sekaligus menyelami cerita masa lalu yang penuh makna.


Begitu melangkah ke area ini, nuansa spiritual langsung terasa. Sebuah gapura megah bergaya Hindu berdiri menyambut pengunjung, menjadi penanda bahwa tempat ini menyimpan percampuran budaya yang khas. Di balik gerbang tersebut, hamparan ratusan anak tangga membentang ke atas, mengarahkan langkah menuju puncak bukit yang menjadi lokasi dua makam tokoh penting dalam sejarah Islam di Cirebon—Pangeran Panjunan dan Pangeran Kejaksaan. Perjalanan menuju makam pun bukan sekadar ziarah, melainkan pengalaman reflektif yang menyatu dengan suasana alam sekitar.


Plangon berdiri megah di atas lahan seluas 48 hektare, dikelilingi pepohonan jati yang menjulang dan hawa sejuk khas perbukitan. Letaknya hanya sekitar 16 kilometer dari pusat Kota Cirebon, atau bisa ditempuh dalam waktu kurang dari satu jam. Nama "Plangon" sendiri memiliki arti mendalam. Menurut sang juru kunci situs ini, kata tersebut berasal dari bahasa Tegal: Klangenan, yang berarti tempat untuk menenangkan diri. Nama itu diberikan oleh dua pangeran dari Kerajaan Baghdad—Pangeran Panjunan (Syech Syarif Abdurachman) dan Pangeran Kejaksaan—yang memilih menetap di bukit ini karena kedamaian dan keheningan yang ditawarkannya.


Keduanya datang ke wilayah ini dalam misi penyebaran Islam dan menemukan ketenangan luar biasa di sebuah bukit yang dulunya bernama Gunung Rabo. Karena merasa cocok, mereka pun memutuskan menetap hingga akhir hayat. Makam keduanya kini menjadi pusat ziarah yang dihormati, terletak di puncak Bukit Plangon. Bangunan makam berdiri kokoh di atas pondasi bata merah, dengan sentuhan arsitektur yang memadukan gaya Arab dan Eropa pada dinding-dindingnya.


Di dalam bangunan makam yang berukuran 3,15 x 3,25 meter itu, terdapat dua pintu khusus untuk masing-masing pangeran. Pengunjung bisa masuk jika mendapatkan izin dari juru kunci, yang juga akan menceritakan kisah-kisah penuh makna tentang kedua tokoh tersebut. Tidak hanya itu, Plangon juga menyimpan kejutan yang tak kalah menarik—kawanan monyet liar yang berkeliaran bebas di sekitarnya.


Uniknya, kawanan monyet ini konon berasal dari sepasang monyet yang dibawa Pangeran Panjunan dari Aceh. Seiring waktu, mereka berkembang biak dan menjadikan Bukit Plangon sebagai habitat alami. Kini, kehadiran mereka menjadi daya tarik tersendiri, bahkan banyak pengunjung yang sengaja datang hanya untuk berinteraksi dengan kawanan tersebut. Ada tradisi unik dalam memanggil mereka: cukup pukul batang pohon tua yang memiliki lubang di tengahnya, dan kawanan monyet akan turun dengan sendirinya dari pepohonan.


Harmoni antara alam, spiritualitas, dan cerita sejarah di Plangon menjadikannya salah satu destinasi yang jarang ditemukan. Bukan hanya cocok untuk wisata religi, tetapi juga bagi mereka yang ingin menenangkan diri, menyatu dengan alam, atau sekadar menikmati interaksi menyenangkan bersama penghuni hutan yang ramah. Bukit Plangon bukan hanya tentang perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin yang mengajak kita kembali pada akar-akar sejarah dan nilai kehidupan yang mungkin terlupa.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)
May 21, 2025