![]() |
Kesenian Topeng Beling (sumber : facebook/Ahmad Zakky Arja) |
Jawa Barat tak pernah kehabisan cara untuk memukau. Di balik hamparan sawah yang menghijau dan semilir angin dari pegunungan, hidup tradisi-tradisi tua yang terus berdenyut bersama zaman. Budaya di tanah Sunda ini bukan sekadar cerita masa lalu yang tersimpan di museum, tapi juga napas kehidupan yang terus ditarikan di setiap panggung, diiringi gamelan, doa, dan semangat para pelestari seni. Salah satu warisan yang unik dan menggugah adalah Seni Topeng Beling, sebuah pertunjukan yang tak hanya menantang fisik, tetapi juga sarat makna spiritual dan nilai-nilai leluhur.
Mungkin selama ini kita mengenal debus sebagai seni kebal dari Banten. Tapi siapa sangka, di Cirebon, seni serupa juga hidup dan berkembang, berpadu dalam bentuk tari topeng khas mereka. Topeng Beling, begitu masyarakat menyebutnya. Dari namanya saja, sudah menggambarkan daya tariknya—menari di atas pecahan kaca. Namun lebih dari sekadar atraksi ekstrem, kesenian ini adalah jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara keberanian dan keanggunan.
Topeng Beling: Antara Keindahan dan Ketangguhan
Jika kita berbicara tentang Seni Topeng Cirebon, biasanya yang terbayang adalah gerakan tari yang lemah gemulai, penuh simbol, dan penuh filosofi. Namun, Topeng Beling membawa nuansa berbeda. Ini bukan hanya tarian, tapi juga ujian mental dan spiritual. Di kompleks Keraton Kacirebonan, seni ini masih lestari, berkat semangat dari Sanggar Seni Sekar Pandan yang setia menjaga nyala tradisi.
Diperankan oleh pria, pertunjukan ini dimulai dengan prosesi sakral. Sang penari mengenakan topeng Kelana—tokoh gagah dan penuh ambisi—dibantu seorang pawang. Doa-doa dilantunkan, asap kemenyan mengepul di udara, menandakan bahwa ini bukan pertunjukan biasa. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap roh para leluhur, sekaligus pembuktian diri bagi sang penari.
Empat orang pengiringnya mengenakan busana putih khas, berdiri mendampingi dengan alat musik tradisional. Irama gamelan Cirebon mulai terdengar cepat, rampak, seolah menjadi aba-aba bahwa aksi utama segera dimulai. Dan ketika pecahan kaca disebar di atas kain, penari mulai menapakkannya—tanpa ragu, tanpa terluka, seolah kaki mereka tak lagi terikat oleh logika.
Menari di atas pecahan kaca tentu bukan pekerjaan sembarangan. Dibutuhkan latihan bertahun-tahun, mental baja, serta kemampuan mengolah energi batin yang luar biasa. Maka tak heran, hanya pria-pria terpilih yang bisa menarikan Topeng Beling. Mereka tak hanya harus menguasai teknik menari tokoh panji, tapi juga harus memahami dasar-dasar debus sebagai bentuk perlindungan spiritual.
Uniknya, Topeng Beling bukan warisan kuno yang berusia ratusan tahun, melainkan lahir dari tangan dingin Elang Heri Komarahadi pada tahun 1995 sebagai bentuk inovasi terhadap tradisi tari topeng klasik. Namun meski tergolong baru, ia tumbuh dengan akar kuat yang terhubung langsung dengan identitas budaya Cirebon.
Keberadaan Topeng Beling menjadi bukti bahwa budaya tak selalu harus diam dalam buku sejarah. Ia bisa hidup, bertransformasi, dan tetap relevan. Namun, agar kesenian ini tidak punah ditelan modernisasi, perlu ada dukungan dari berbagai pihak—pemerintah, pelaku seni, dan tentu saja masyarakat luas.
Dengan memperkenalkan Topeng Beling ke panggung yang lebih luas—baik melalui pertunjukan budaya, festival daerah, hingga media digital—diharapkan seni ini dapat dikenal generasi muda, bukan sebagai tontonan ekstrem semata, tapi sebagai bentuk keteguhan dalam menjaga nilai-nilai leluhur.
Di Cirebon, seni tak hanya ditarikan, tapi juga diwariskan. Dan di atas pecahan kaca itu, kita melihat refleksi dari semangat yang tak mudah pecah—warisan budaya yang terus hidup, seindah dan setangguh Topeng Beling.