![]() |
Observatorium Bosscha (sumber : google maps/Andry Beef) |
Jika menyusuri sudut-sudut kota di Jawa Barat, terutama Bandung dan sekitarnya, tak sulit menemukan bangunan tua bergaya Eropa yang masih kokoh berdiri. Gedung-gedung berarsitektur khas kolonial Belanda ini bukan hanya menjadi saksi bisu sejarah panjang Indonesia, tapi juga menyimpan cerita-cerita menarik yang jarang diketahui publik. Dari hotel legendaris hingga gedung pemerintahan, dan dari rumah-rumah elite hingga fasilitas penelitian ilmiah, warisan masa lalu itu masih menjadi bagian hidup masyarakat kini. Salah satu yang paling menonjol, dan mungkin paling unik, adalah bangunan berkubah putih di dataran tinggi Lembang: Observatorium Bosscha.
Berbeda dari peninggalan Belanda lain yang umumnya bersifat administratif atau hunian, Observatorium Bosscha justru dibangun untuk menatap jauh ke langit, memetakan bintang-bintang, dan membawa Hindia Belanda masuk ke dalam peta astronomi dunia. Di tengah hamparan hijau dan hawa sejuk pegunungan, berdirilah pusat pengamatan bintang pertama dan terbesar di Indonesia—tempat yang bukan hanya menjadi situs ilmiah, tetapi juga ikon budaya dan sejarah nasional.
Observatorium Bosscha bukan dibangun oleh negara, melainkan lahir dari cita-cita pribadi seorang filantropis Belanda bernama Karel Albert Rudolf Bosscha. Bersama keponakannya, R.A. Kerkhoven, dan astronom Joan G.E.G. Voûte, mereka menghimpun para penggiat langit untuk mendirikan Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereniging (NISV) atau Perhimpunan Astronomi Hindia Belanda. Tujuannya sederhana namun visioner: membangun dan memelihara observatorium astronomi di Hindia Belanda.
Pertemuan penting itu berlangsung di Hotel Homann Bandung pada 12 September 1920. Di situlah Bosscha menyatakan kesediaannya menjadi donatur utama, bahkan menyediakan dana untuk pembelian teleskop. Komitmen itu kemudian terwujud pada 1 Januari 1923, saat Observatorium Bosscha resmi berdiri. Sebagai bentuk penghormatan, namanya pun diabadikan menjadi nama observatorium tersebut—Bosscha Sterrenwacht, kini dikenal sebagai Observatorium Bosscha.
Seperti bangunan-bangunan sejarah lainnya, Observatorium Bosscha tak luput dari badai sejarah. Menjelang akhir Perang Dunia II dan selama pendudukan Jepang, banyak peralatan optik yang hilang, sementara pengelola aslinya, NISV, kehilangan arah. Dalam kondisi tak menentu, universitas lokal—yakni Universitas Indonesia cabang Bandung (yang kelak menjadi ITB)—diminta mengambil alih pengelolaan. Di sinilah tonggak sejarah baru dimulai: pendidikan astronomi formal lahir di Indonesia.
Gedung kubah teleskop utama, atau Koepel, dirancang oleh arsitek kenamaan Prof. Charles P. Wolff Schoemaker. Kubah ini mampu dibuka selebar tiga meter, dan dapat berputar untuk mengikuti arah teleskop, sementara lantainya bisa dinaikkan atau diturunkan. Semua mekanisme ini digerakkan oleh tenaga listrik—sebuah kemajuan teknologi luar biasa pada masanya.
Hingga kini, Observatorium Bosscha tetap aktif menjalankan fungsi utamanya sebagai pusat pendidikan dan riset astronomi. Bahkan, tempat ini menjadi satu-satunya institusi di Indonesia yang menawarkan pendidikan astronomi dari tingkat sarjana hingga doktoral. Tak hanya itu, Bosscha juga membuka pintu bagi kolaborasi dengan peneliti dan mahasiswa dari seluruh dunia, tak terbatas pada astronomi saja, tetapi juga sejarah, arsitektur, hingga manajemen warisan budaya.
Berbagai kegiatan pengabdian masyarakat digelar rutin maupun insidental, terutama saat terjadi fenomena astronomi menarik seperti gerhana atau hujan meteor. Bosscha juga menyambut kunjungan dari pelajar hingga wisatawan, menjadi jembatan antara sains dan publik yang menyenangkan.
Status Cagar Budaya dan Upaya Pelestarian
![]() |
Observatorium Bosscha (sumber : google maps/soffie gusniza) |
Observatorium Bosscha bukan sekadar fasilitas ilmiah, tapi juga harta karun budaya nasional. Sejak 2004, tempat ini ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional dan pada 2008 sebagai Objek Vital Nasional. Lewat SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 184/M/2017, serta SK Bupati Bandung Barat terbaru tahun 2025, keberadaannya dipertegas sebagai bangunan yang harus dilindungi fisik dan fungsinya.
Peraturan Daerah Jawa Barat dan Peraturan Presiden RI pun memasukkan kawasan ini dalam zona strategis yang harus dijaga dari pembangunan yang mengancam kelestarian lingkungannya. Secara kelembagaan, Bosscha berada di bawah naungan Fakultas MIPA ITB dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Dari balik pepohonan lebat di Jalan Peneropongan Bintang, Desa Gudang Kahuripan, Lembang, berdiri bangunan yang tak sekadar mengarah ke langit, tapi juga menjaga warisan pengetahuan dan semangat keilmuan dari generasi ke generasi. Observatorium Bosscha adalah bukti bahwa bahkan dari negeri jajahan di masa lalu, lahir kontribusi besar bagi ilmu pengetahuan dunia.
Dengan tetap bersinar di tengah zaman yang terus berubah, Observatorium Bosscha bukan hanya milik para astronom, tapi milik seluruh bangsa yang ingin menatap bintang dengan penuh harap dan kebanggaan. Apakah Anda tertarik mengunjungi Observatorium Bosscha dan melihat langit dari tempat paling bersejarah di Indonesia ini?