![]() |
Katimus Singkong (sumber : indonesiakaya) |
Kalau bicara soal kuliner khas Jawa Barat, rasanya seperti membuka kotak harta karun yang penuh kejutan. Dari makanan berat sampai camilan ringan, semuanya punya cita rasa unik yang bikin jatuh hati. Sebut saja surabi, peuyeum, colenak, sampai camilan manis seperti katimus. Meski namanya mungkin terdengar asing di telinga generasi muda zaman sekarang, tapi jangan salah, rasa katimus yang legit dan teksturnya yang kenyal bisa bikin kamu ketagihan sejak suapan pertama.
Katimus atau juga disebut ketimus, adalah salah satu camilan tradisional khas Sunda yang mulai jarang terdengar namanya, tapi tetap eksis di hati mereka yang pernah mencicipinya. Orang Jawa menyebutnya lemet. Dibuat dari bahan yang sederhana, tapi rasanya luar biasa. Singkong, gula merah, kelapa parut, dan sedikit tepung terigu—semua bersatu dalam bungkus daun pisang yang aromanya khas banget saat dikukus. Gampang dibuat, tapi menyimpan cerita panjang soal tradisi, sejarah, dan kecerdasan lokal dalam mengolah bahan pangan yang murah meriah.
Si Sederhana yang Punya Cerita Panjang
Katimus adalah bukti nyata bahwa camilan enak tak harus mewah. Bahan utamanya adalah singkong parut yang dicampur dengan gula merah dan kelapa parut. Sedikit tepung terigu ditambahkan agar adonannya menyatu dengan baik. Setelah dibungkus daun pisang dan dikukus sampai matang, aroma wangi dan rasa manis gurih dari katimus langsung menggoda untuk dicicipi.
Ajip Rosidi, budayawan Sunda kenamaan, pernah menyebut katimus sebagai penganan sederhana yang murah meriah. Cocok disantap kapan saja, baik pagi, siang, atau malam. Bahkan, katanya, cocok juga untuk mengganjal perut yang suka “ngaret” makannya—bahkan bisa jadi penangkal maag alami, saking padat dan mengenyangkannya.
Biasanya, katimus ini dijual berbarengan dengan minuman hangat tradisional seperti bandrek dan bajigur, terutama saat cuaca dingin. Dulu, para penjual keliling kerap menjajakan ketimus dari gerobak sederhana, berdampingan dengan rebusan kacang, ubi, atau pisang.
Jejak Sejarah di Balik Si Manis Singkong
Walau tampak sederhana, katimus menyimpan jejak sejarah yang menarik. Dalam naskah kuno Serat Centhini yang ditulis pada awal abad ke-19, ada beberapa penganan dari singkong yang disebutkan seperti getuk dan tape. Meski ketimus tak secara langsung disebutkan, camilan seperti lemet—yang merupakan nama lain dari katimus—sudah dikenal saat itu.
Fadly Rahman, sejarawan kuliner, mencatat bahwa singkong mulai populer di Indonesia sejak abad ke-19, terutama saat pemerintah kolonial membudidayakannya sebagai tanaman penyangga bila panen padi gagal. Namun, baru sekitar tahun 1875 singkong mulai dibudidayakan secara serius. Sebelumnya, singkong dianggap “kelas dua” karena bukan bagian dari tanaman asli Nusantara. Tanaman ini berasal dari Amerika Selatan dan dibawa ke Indonesia oleh bangsa Portugis melalui Maluku.
Singkong akhirnya diterima luas oleh masyarakat Jawa karena kemudahannya tumbuh di lahan miskin hara dan tanpa perawatan khusus. Karena bisa dipanen kapan saja sesuai kebutuhan, singkong pun dijuluki “gudang pangan bawah tanah”. Tak heran jika banyak ibu rumah tangga kreatif mulai mengolahnya jadi aneka kudapan, salah satunya adalah katimus.
Dari Rumah ke Meja Makan Kolonial
Cerita tentang katimus juga bergaung sampai ke dapur para nyonya Belanda zaman dulu. Dalam buku Seabad Grand Hotel Preanger, Haryoto Kunto menulis bahwa seorang wanita bernama Nyonya van Horck dari Garut pernah memperkenalkan olahan Sunda dalam menu rijsttafel—sebuah tradisi makan khas Belanda yang menyajikan berbagai makanan Nusantara dalam satu meja panjang. Salah satu hidangan yang ia kenalkan? Ya, katimus!
Seiring waktu, katimus bahkan masuk dalam buku-buku resep legendaris. Di antaranya Pandai Masak (1957) karya Julie Sutarjana dan Mustika Rasa (1967) terbitan Departemen Pertanian. Ini jadi bukti bahwa camilan tradisional ini punya tempat tersendiri dalam sejarah kuliner Indonesia.
Katimus Hari Ini: Masih Ada, Tapi Makin Langka
Kini, katimus bisa ditemukan di beberapa pasar tradisional atau warung jajanan khas Sunda. Tapi tentu saja, tidak semudah dulu. Di tengah gempuran makanan modern, keberadaan ketimus mulai tergeser. Padahal, rasanya tidak kalah dari kue kekinian. Sensasi legitnya gula merah, gurihnya kelapa, dan kenyalnya singkong sungguh memanjakan lidah, apalagi saat disajikan hangat bersama secangkir teh.
Tak ada salahnya kalau kamu mencoba membuat sendiri di rumah. Prosesnya mudah, bahannya murah, dan hasilnya pasti bikin semua anggota keluarga senyum-senyum puas. Lebih dari sekadar camilan, katimus adalah potongan kecil dari warisan budaya yang patut dijaga. Karena dari sepotong kue singkong inilah, kita bisa merasakan hangatnya tradisi dan kekayaan rasa Nusantara.
Jadi, lain kali saat kamu ingin ngemil tapi bosan dengan yang itu-itu saja, coba cari katimus. Siapa tahu, dari camilan sederhana ini, kamu bisa jatuh cinta pada rasa-rasa lama yang hampir terlupa.