Mengenal Kesenian Domyak, Ritual Pemanggilan Hujan dari Purwakarta

Jabar Tourism
0

Ritual Domyak Purwakarta (sumber : facebook/Layung Jagat)

Indonesia tak hanya elok dari sisi alamnya. Di balik hijaunya pegunungan dan birunya laut, negeri ini menyimpan kekayaan budaya yang luar biasa melimpah. Tak heran jika Indonesia kerap disebut sebagai negeri seribu budaya. Setiap jengkal wilayah punya cerita, setiap daerah punya warisan. Salah satu warisan budaya yang jarang terdengar namun sarat makna datang dari Kabupaten Purwakarta, tepatnya di Desa Pasirangin, Kecamatan Darangdan. Namanya: Domyak.


Domyak bukan sekadar pertunjukan seni. Ia lahir dari hubungan yang intim antara manusia dan alam, sebuah ritual sakral yang diwariskan turun-temurun. Kesenian ini tumbuh di lereng Gunung Burangrang sebagai bentuk permohonan hujan kepada Sang Pencipta. Dalam ritualnya, warga memainkan alat-alat musik tradisional seperti dogdog, bedug, kenong, gong, tarompet, dan angklung yang menyatu harmonis dengan gerakan tari yang energik dan penuh simbol.


Jejak sejarah Domyak tak bisa dilepaskan dari kegiatan masyarakat masa lampau yang berjalan beriringan menuju sumber mata air di Gunung Rahayu. Sepanjang perjalanan, mereka menabuh berbagai alat musik seraya melafalkan doa untuk datangnya hujan. Alunan bunyi dogdog, dentuman bedug, dering kecrek, hingga suara khas angklung buncis membentuk irama magis yang menghidupkan harapan akan turunnya hujan. Pada masa awalnya, kesenian ini dikenal dengan sebutan Buncis.


Namun pada era 1990-an, nama Buncis diubah menjadi Domyak. Nama ini diambil dari dua unsur penting dalam pertunjukan: Ngadodog—yakni kegiatan menabuh alat musik sebagai pengiring ritual, dan Rampayak—yang berarti menari. Perubahan nama ini sekaligus menandai identitas baru kesenian tersebut, sebagai kesatuan antara irama dan gerak yang sarat makna spiritual.


Salah satu ciri unik dalam prosesi Domyak adalah ritual memandikan kucing. Meski terdengar tak biasa, ritual ini dipercaya sebagai bagian penting dalam pemanggilan hujan. Setelah prosesi ritual selesai, acara pun berlanjut dalam suasana penuh keceriaan dengan berbagai atraksi hiburan: pertunjukan tari tradisional, mandi lumpur yang seru, hingga ngibing pencak silat yang membangkitkan semangat warga.


Pengakuan pun datang dari dunia internasional. Kesenian Domyak telah resmi diakui UNESCO sebagai warisan budaya tak benda—suatu prestasi yang membanggakan. Namun ironisnya, di dalam negeri, keberadaan Domyak masih kurang dikenal. Banyak masyarakat Indonesia sendiri yang belum pernah mendengar nama kesenian ini, apalagi menyaksikannya secara langsung.


Tak bisa dimungkiri, arus globalisasi dan gempuran budaya asing sering kali membuat budaya lokal tersisih. Budaya luar lebih mudah dijangkau dan digemari, sementara tradisi leluhur perlahan memudar. Namun, bukan berarti kita tidak bisa melakukan sesuatu. Justru inilah saatnya kita menyeimbangkan: mengenal budaya luar tanpa melupakan budaya sendiri.


Domyak bukan sekadar hiburan. Ia adalah identitas, jati diri, dan warisan yang mengikat sejarah dengan masa depan. Menjadi tugas kita bersama—terutama generasi muda—untuk menjaga agar tradisi seperti Domyak tetap hidup, tidak hanya di atas kertas pengakuan dunia, tapi di tengah-tengah kehidupan masyarakatnya sendiri.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)