Menyingkap Sejarah Sampyong, Kesenian Adu Ketangkasan dari Majalengka yang Kian Langka

Jabar Tourism
0

Kesenian Sampyongan (sumber : facebook/Disparbud Kab Majalengka)

Kalau bicara tentang Majalengka, banyak orang mungkin langsung teringat pada pemandangan alamnya yang memikat—dari hijaunya hamparan sawah, hingga sejuknya udara pegunungan. Tapi, siapa sangka, di balik keindahan alamnya, Majalengka juga menyimpan ragam kekayaan budaya yang tak kalah menarik. Salah satunya adalah Sampyong, sebuah seni tradisional yang menguji ketangkasan sekaligus nyali para pemainnya.


Di tengah modernisasi yang makin cepat, tradisi seperti Sampyong ini sudah mulai jarang terlihat. Padahal, kesenian ini dulunya cukup populer, terutama saat ada hajatan besar atau perayaan adat di kampung-kampung. Sampyong bukan sekadar tontonan, melainkan sebuah warisan leluhur yang sarat makna, memperlihatkan kekuatan fisik dan keahlian bela diri dengan iringan musik tradisional Sunda yang khas.


Sampyong bisa dibilang sebagai pertunjukan yang ekstrem, karena melibatkan aksi saling pukul menggunakan rotan sepanjang sekitar 60 sentimeter. Tapi tenang, ini bukan berkelahi sembarangan. Ada aturan mainnya, dan semuanya dilakukan dengan semangat sportivitas tinggi. Biasanya, dua pemain akan saling bergantian memukul bagian paha lawannya dengan rotan, sambil tetap menjaga ritme yang seirama dengan tabuhan musik pengiring.


Menurut Carli, salah satu pelaku seni Sampyong yang cukup dikenal di Majalengka, Sampyong sebenarnya merupakan perkembangan dari kesenian yang lebih tua bernama Ujungan. "Dulu belum ada namanya Sampyong, yang dikenal itu Ujungan. Baru belakangan berubah jadi Sampyong," ujarnya. Menariknya, nama Sampyong sendiri berasal dari bahasa Cina—Sam berarti tiga, dan Pyong berarti pukulan. Jadi secara harfiah, Sampyong bisa diartikan sebagai "tiga kali pukulan".


Cerita perubahan nama ini juga punya latar unik. Konon, suatu hari ketika seni Ujungan sedang dipertunjukkan di Indramayu, ada seorang warga keturunan Tionghoa yang penasaran dengan aksi saling pukul itu. Ia bertanya, “Ini kesenian apa?” dan dari situlah muncul istilah Sampyong yang kemudian melekat sampai sekarang.


Pertunjukan Sampyong memang terlihat ekstrem, apalagi bagi yang belum pernah menyaksikannya secara langsung. Namun, bila diperhatikan dengan seksama, ada keindahan tersendiri dalam gerakan para pemainnya. Setiap ayunan rotan, hentakan kaki, hingga gaya bertahan dan menyerang, semua terinspirasi dari gerakan pencak silat yang dikombinasikan dengan nilai-nilai seni dan adat lokal.


Dulu, saat masih berbentuk Ujungan, permainan ini bahkan lebih “bebas”. Pemain bisa memukul lawannya dari ujung kaki hingga kepala, selama menggunakan pelindung kepala khusus yang disebut balakutak. Namun kini, demi keamanan dan kelangsungan seni ini sendiri, aturan diperketat. Pukulan hanya boleh diarahkan ke bagian paha, dan biasanya dilakukan dalam suasana yang tetap penuh hormat dan semangat kekeluargaan.


Kesenian Sampyong mungkin tidak seterkenal seni lain seperti wayang golek atau tari jaipong, tapi justru di sanalah daya tariknya. Ia hadir sebagai simbol kekuatan lokal, memperlihatkan bagaimana masyarakat Majalengka mengekspresikan keberanian, keterampilan, dan tradisi leluhur mereka dalam bentuk seni adu ketangkasan yang unik.


Sayangnya, keberadaan Sampyong kini makin jarang terdengar. Hanya segelintir komunitas dan pegiat budaya seperti Carli yang masih berusaha melestarikannya. Tapi harapan belum padam. Dengan semangat kolaborasi antarbudaya, dukungan pemerintah, serta rasa bangga masyarakat terhadap warisan daerahnya, bukan tak mungkin Sampyong bisa kembali hidup dan dikenal lebih luas oleh generasi muda.


Jadi, kalau suatu hari kamu berkunjung ke Majalengka, sempatkan waktu untuk mencari tahu lebih dalam tentang Sampyong. Siapa tahu, kamu bisa menyaksikan langsung aksi ketangkasan penuh adrenalin ini—sebuah bagian dari identitas budaya yang layak untuk terus dijaga dan diwariskan.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)