![]() |
Makam Van Beck (sumber : pinterest/Eryka Kasy) |
Kalau kamu sedang melintasi Jalan Cigugur–Palutungan di Kuningan dan tiba-tiba matamu menangkap sebuah bangunan unik bergaya Eropa yang berdiri sendirian di pinggir jalan, jangan buru-buru berpikir itu hanya rumah tua tak berpenghuni. Coba tengok lebih dekat. Tepat di samping Koramil Cigugur, berdirilah sebuah bangunan menyerupai rumah siput dengan lengkungan-lengkungan khas dan jendela kecil bergaya kolonial. Dari luar memang tampak usang, tapi siapa sangka, bangunan ini menyimpan kisah seorang tokoh besar masa penjajahan: Van Beck.
Bangunan itu bukanlah rumah biasa. Ia adalah makam—lebih tepatnya monumen pengingat bagi Van Beck, seorang perwira dan saudagar Belanda yang disebut-sebut punya pengaruh besar di Kuningan pada masa kolonial. Dibangun pada tahun 1912, makam ini kini tercatat sebagai salah satu situs cagar budaya yang dilindungi oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten. Namun sayang, keberadaannya kerap luput dari perhatian. Banyak yang hanya melintas tanpa tahu kisah yang terpendam di balik dinding berlumutnya.
Menurut Iim Wakim, sang juru pelihara makam, Van Beck bukanlah orang sembarangan. Ia diduga pernah menjabat sebagai perwakilan Residen Cirebon di wilayah Kuningan—jabatan yang mungkin bisa disejajarkan dengan duta besar di zaman sekarang. Ada pula versi lain yang menyebutkan bahwa Van Beck adalah seorang kapten militer Belanda. Terlepas dari versi mana yang benar, satu hal yang pasti: makamnya yang besar dan bergaya Eropa klasik menandakan bahwa ia adalah sosok yang punya pengaruh besar pada masanya.
Di area sekitar makam Van Beck, kita juga bisa menemukan beberapa makam warga Belanda lainnya seperti Magdalena dan Lumantow. Konon, dulu kawasan ini memang menjadi kompleks pemakaman orang-orang Belanda. Namun seiring waktu, sebagian area kini sudah menjadi bagian dari kompleks Koramil Cigugur. Sayangnya, informasi tertulis mengenai siapa mereka dan apa kiprahnya di masa lalu sangatlah minim. Nama-nama itu kini hanya menjadi simbol sunyi dari masa lalu yang perlahan memudar.
Kondisi Bangunan yang Memprihatinkan
Meski menyimpan sejarah penting, kondisi makam Van Beck justru jauh dari kata layak. Di bagian dalam bangunan, tampak dinding-dinding yang retak dan serpihan bambu berserakan, bercampur dengan sampah. Satu-satunya yang rutin merawat tempat ini hanyalah Iim, yang bertugas membersihkan area dan merapikan rumput di sekitar makam. Tapi untuk perbaikan besar, semua harus mengikuti prosedur pelestarian cagar budaya—tidak bisa sembarangan.
Bentuk bangunan makam Van Beck yang menyerupai kubah, dengan ornamen dan arsitektur khas Eropa abad ke-19, membuatnya tampak seperti potongan dunia lain yang tersesat di tanah Sunda. Ia berdiri sendiri, seolah menjadi saksi bisu dari perubahan zaman. Di tengah modernisasi Kuningan, situs ini seperti potongan sejarah yang terlewatkan.
Tak hanya melalui makam, nama Van Beck ternyata juga disebut-sebut punya kaitan erat dengan beberapa bangunan ikonik di Kuningan. Misalnya, Pendopo Kabupaten, Kantor Pos, hingga Tugu 0 Kilometer. Semua itu menambah kuat dugaan bahwa ia adalah tokoh penting yang pernah merancang atau setidaknya terlibat dalam pembangunan infrastruktur di masa penjajahan.
Namun, seperti banyak cerita sejarah kolonial lainnya, jejak Van Beck tersamar oleh waktu. Minimnya dokumentasi membuatnya seperti legenda tanpa narasi lengkap. Ia hadir dalam bentuk batu nisan besar dan bangunan kubah yang sunyi—namun tetap mengundang rasa ingin tahu siapa saja yang lewat.
Menjaga Peninggalan yang Tersisa
Kisah Van Beck dan makamnya mungkin belum sepopuler destinasi sejarah lain di Indonesia. Namun justru di situlah daya tariknya. Ia menyimpan misteri, menyodorkan pertanyaan, dan menantang kita untuk menggali lebih dalam. Siapa sebenarnya Van Beck? Apa perannya dalam sejarah Kuningan? Dan mengapa ia dimakamkan dengan begitu megah?
Bangunan ini bukan hanya tempat peristirahatan terakhir seorang tokoh kolonial, tapi juga jendela kecil untuk memahami bagian sejarah Kuningan yang jarang disentuh. Siapa tahu, dari makam tua yang sunyi ini, cerita besar bisa terungkap—asal kita mau mendengarkan.