![]() |
Ladu Ketan Malangbong (sumber : pinterest) |
Setiap sudut negeri ini punya cerita rasa yang khas. Mulai dari ujung barat hingga timur, Indonesia tak pernah kehabisan sajian kuliner yang mencerminkan identitas daerah masing-masing. Bukan hanya menjadi pengisi perut, makanan khas juga kerap menjadi bagian dari budaya dan kenangan.
Hal ini pula yang bisa kita temui saat berkunjung ke Garut, sebuah kabupaten di Jawa Barat yang terkenal dengan julukan "kota domba", "kota intan", hingga "kota pangkas". Di balik keindahan alam dan kesejukan udaranya, Garut menyimpan kekayaan kuliner yang tak kalah menggoda. Salah satu yang cukup unik dan mulai kembali populer adalah camilan tradisional bernama Ladu.
Sekilas Tentang Ladu, Camilan Kenyal Khas Garut
Jika mendengar kata Garut, kebanyakan orang akan langsung teringat pada dodolnya yang legendaris. Tapi tahukah kamu, ada jajanan lain yang bentuk dan teksturnya cukup mirip namun punya karakteristik berbeda? Namanya Ladu, penganan berbahan dasar ketan yang memiliki rasa manis legit dengan tekstur kenyal, sedikit lebih keras di luar namun tetap lembut saat digigit.
Ladu berasal dari wilayah Malangbong, salah satu kecamatan di Garut. Camilan ini dibuat dari bahan-bahan sederhana seperti tepung ketan putih yang disangrai, gula pasir, gula aren, dan kelapa parut. Tak menggunakan bahan pengawet, Ladu hanya bisa bertahan sekitar 4 hingga 10 hari tergantung penyimpanan—membuatnya menjadi camilan segar yang layak dijadikan oleh-oleh saat berkunjung ke Garut.
Harga Ladu juga cukup terjangkau. Di kawasan UMKM Malangbong atau Jalan Kabupaten di Kelurahan Paminggir, camilan ini bisa didapatkan mulai dari Rp 1.500 per batangnya. Cocok dijadikan buah tangan atau camilan sore bersama teh hangat.
Dari Dapur Rumahan ke Warisan Kuliner Daerah
Menelusuri jejak Ladu membawa kita kembali ke tahun 1930-an, saat seorang ibu rumah tangga bernama Musti’ah memulai segalanya dari dapur kecilnya di Malangbong. Musti’ah dikenal piawai membuat berbagai penganan tradisional khas Sunda, namun Ladu adalah salah satu ciptaan paling terkenalnya.
Awalnya, Ladu buatan Musti’ah hanya dikonsumsi sendiri atau dibagikan ke kerabat dekat, khususnya saat menjelang hari besar keagamaan seperti Idul Fitri. Namun siapa sangka, dari mulut ke mulut, camilan sederhana ini mulai dikenal luas. Bahkan, banyak pejabat setempat yang rela memesan khusus Ladu buatan Musti’ah karena rasanya yang khas dan memikat.
Memasuki era 1970-an, Ladu mulai diproduksi secara lebih serius. Pedagang asongan di terminal-terminal bus Garut menjadi jembatan awal dalam memperkenalkan Ladu ke masyarakat yang lebih luas. Permintaan meningkat tajam, dan Musti’ah pun merasa perlu untuk mewariskan ilmu dan keterampilannya kepada generasi penerus agar usaha ini bisa terus berkembang.
Warisan Rasa yang Tak Lekang Oleh Waktu
Kini, Ladu bukan sekadar camilan, tapi sudah menjadi bagian dari identitas kuliner Garut, khususnya Malangbong. Cita rasanya yang unik—manis alami dari gula aren, lembut berpadu kenyal dari ketan, dan aroma gurih kelapa—menjadikan Ladu sebagai salah satu favorit bagi wisatawan maupun warga lokal.
Di tengah arus makanan modern yang terus bermunculan, keberadaan Ladu menjadi pengingat akan pentingnya melestarikan warisan kuliner tradisional. Tidak hanya soal rasa, tapi juga nilai sejarah dan perjuangan dari para perintisnya yang patut dihargai.
Jadi, jika suatu hari kamu berkesempatan berkunjung ke Garut, jangan hanya pulang membawa dodol. Sisakan ruang di tas oleh-olehmu untuk beberapa batang Ladu Malangbong—cita rasa lokal yang akan membuatmu kembali rindu pada kehangatan suasana pedesaan.