![]() |
Museum PETA Bogor (sumber : google maps/mutiah) |
Tak banyak yang tahu bahwa di balik sejuknya udara Bogor dan semaraknya kuliner kota ini, tersimpan jejak penting perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Di sinilah, di sebuah bangunan bersejarah di Jalan Jenderal Sudirman No. 35, berdiri Museum Pembela Tanah Air (PETA), sebuah saksi bisu yang merekam semangat juang para prajurit yang tak gentar menghadapi penjajahan.
Museum ini bukan sekadar ruang pamer benda-benda tua. Ia adalah pengingat akan masa ketika semangat kebangsaan melampaui kepentingan pribadi. Tempat ini menyuguhkan perjalanan sejarah dari masa pendudukan Jepang, ketika Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) dibentuk—bukan sekadar untuk membantu Jepang, tapi menjadi wadah awal pembentukan tentara nasional Indonesia.
Dari Markas Militer ke Rumah Memori
Bogor dipilih sebagai pusat pendidikan perwira PETA bukan tanpa alasan. Letaknya yang strategis, udaranya yang sejuk, serta dukungan masyarakat yang kuat menjadikan kota ini lokasi ideal untuk mencetak prajurit tangguh. Di sinilah, semangat perjuangan itu mulai dipupuk, jauh sebelum proklamasi dikumandangkan.
Sebagai bentuk penghormatan dan pelestarian sejarah, Yayasan Pembela Tanah Air menggagas pembangunan Museum PETA di lokasi bekas markas pendidikan militer tersebut. Pembangunan dimulai pada 14 November 1993, dan dua tahun kemudian, pada 18 Desember 1995, museum ini resmi dibuka oleh Presiden Soeharto, yang tak lain adalah salah satu perwira lulusan angkatan pertama PETA.
Prasasti, Diorama, dan Semangat yang Tak Pernah Padam
Memasuki kompleks museum, mata langsung disambut oleh sebuah prasasti berlapis marmer yang menggetarkan hati. Tertulis sebuah kalimat penuh semangat, “Bumi Pembela Tanah Air Ini Merupakan Kawah Candradimuka Keprajuritan Indonesia...,” yang menggambarkan bagaimana Bogor menjadi titik awal lahirnya prajurit-prajurit pembela bangsa.
Melangkah ke bagian dalam, pengunjung akan dibawa menyusuri lorong waktu melalui deretan diorama yang menggambarkan peristiwa-peristiwa penting perjuangan PETA. Tidak hanya itu, berbagai koleksi senjata, seragam, hingga dokumentasi berupa foto-foto hasil potongan media masa lalu turut memperkaya pengalaman historis yang ditawarkan museum ini.
Patung Para Pahlawan, Simbol Keberanian
Di bagian belakang museum, berdiri kokoh patung Daidancho Soedirman, dengan pakaian militer dan ekspresi penuh wibawa. Daidancho adalah pangkat militer setara Komandan Batalyon pada masa itu. Sosok lain yang tak kalah menggugah adalah patung Supriyadi, pahlawan nasional yang memimpin pemberontakan PETA terhadap Jepang di Blitar, Februari 1945. Patung Supriyadi digambarkan dengan tangan kanan mengepal ke atas, sementara tangan kirinya menggenggam samurai—simbol keberanian yang tak tergoyahkan.
Di sekitar monumen berbentuk setengah lingkaran, terukir nama-nama perwira PETA dari berbagai penjuru Nusantara—Jawa, Bali, Madura, hingga Sumatra. Setiap nama dilengkapi dengan informasi jabatan dan perannya, seolah menghidupkan kembali para patriot itu di benak kita.
Napak Tilas Nasionalisme Sejati
Museum dan Monumen PETA dibuka setiap hari kerja, Senin hingga Jumat, mulai pukul 08.00 sampai 14.00 WIB, kecuali pada akhir pekan dan hari libur nasional. Tempat ini menjadi destinasi yang tepat bagi siapa saja yang ingin menyelami semangat nasionalisme yang murni—sebuah nilai yang belakangan ini mulai tergerus zaman.
Dengan mengunjungi Museum PETA, kita tidak hanya belajar sejarah. Kita juga diajak merenungi makna pengorbanan dan rasa cinta tanah air yang begitu mendalam dari para pendahulu kita. Tempat ini mengajarkan bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah, melainkan hasil dari tekad, darah, dan air mata mereka yang memilih melawan demi masa depan Indonesia.