Menjejak Aroma Kopi di Lereng Manglayang: Dari Perkebunan ke Destinasi Wisata Alam

Jabar Tourism
3 minute read
0

Agro Wisata Kopi Manglayang (sumber: jurnalkitaplus)

Gunung Manglayang, salah satu gunung legendaris di dataran tinggi Bandung, menyimpan kisah unik yang tak banyak diketahui. Terletak di antara dua wilayah administratif—Bandung dan Sumedang—gunung ini menjadi bagian dari rangkaian pegunungan purba yang membentang dari barat ke timur, dimulai dari Gunung Burangrang, Tangkuban Parahu, Bukit Tunggul, hingga Manglayang sebagai penutupnya.


Dengan ketinggian 1.818 meter di atas permukaan laut, Manglayang bukanlah gunung yang terlalu menantang bagi para pencinta alam. Justru, inilah yang menjadi daya tariknya—cukup ideal untuk pendakian sehari atau one day trip. Hutan di gunung ini tergolong heterogen, dihiasi beragam tumbuhan keras, namun di ketinggian 1.000 mdpl, barisan pohon pinus mendominasi. Di sinilah cerita menarik dimulai.


Selama lebih dari satu dekade terakhir, kerja sama antara Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan Perhutani telah menyulap area ini menjadi perkebunan kopi Arabika. Tujuannya bukan hanya meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar, tetapi juga memperbaiki struktur tanah agar lebih kuat menahan air dan mengurangi risiko erosi—hal yang sebelumnya sering terjadi ketika tanah hanya ditanami sayur-mayur.


Kawasan yang ditanami kopi cukup luas, mencakup sejumlah desa di wilayah Bandung seperti Palintang, Cilengkrang, dan Cikoneng, serta di Sumedang seperti Jatinangor, Sukasari, Nanggerang, Dano, dan Genteng. Dengan ratusan hektare lahan, tak heran jika wilayah ini mulai dilirik sebagai destinasi agro wisata kopi.


Meskipun hasil panen kopi Arabika menjanjikan keuntungan yang besar, petani setempat menyiasati masa panen tahunan dengan sistem tumpangsari—menanam sayuran, pisang, dan alpukat di sela-sela pohon kopi. Strategi ini berhasil menciptakan sumber pendapatan tambahan mingguan dan bulanan.


Kini, gagasan untuk mengembangkan kawasan ini menjadi destinasi agro wisata semakin mengemuka. Kelompok tani dari Blok Dano, Desa Nanggerang, Kecamatan Sukasari—yang dipelopori oleh para petani seperti Pak Olot, Arif "Koboy", Asep Dedi alias Ara, Bah Darma, Deni, dan Budi—tengah mempersiapkan langkah awal secara swadaya.


“Lahan di Dano ini sangat potensial untuk dijadikan tempat wisata edukatif berbasis kopi,” ujar Arif Koboy kepada tim JKP. Ia menambahkan bahwa selama ini sudah banyak mahasiswa dan pengunjung dari perusahaan yang datang untuk belajar mengenai pengelolaan kopi. “Saya senang berbagi ilmu secara sukarela. Ini cara saya menjaga semangat bertani kopi tetap hidup,” tambahnya sambil tersenyum.


Sementara itu, Deni—salah satu motor penggerak inisiatif ini dan aktivis Community Based Tourism (CBT)—menyampaikan bahwa konsep agro wisata kopi ini tidak hanya menguntungkan petani dari hasil panennya saja, tetapi dari seluruh proses yang bisa dikemas menjadi pengalaman wisata edukatif. Mulai dari menanam, merawat, hingga mengolah kopi bisa menjadi daya tarik tersendiri.


“Agro wisata ini akan membawa dampak positif ke banyak pihak. Bukan cuma petani, tapi juga warga kampung sekitar. Mereka bisa membuka warung, menyewakan rumah sebagai homestay, atau bahkan ikut menjadi pemandu wisata,” jelas Deni dengan penuh semangat.


Tak hanya menawarkan pengalaman bercengkerama dengan alam dan perkebunan kopi, akses menuju Agro Wisata Kopi Manglayang juga menyuguhkan petualangan. Pengunjung bisa menikmati trekking sejauh 3 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam sekali jalan, atau total 3 jam pulang-pergi. Jalurnya menyusuri perkampungan terakhir hingga ke tengah kebun, menawarkan pemandangan dan ketenangan yang menyegarkan.


Bagi yang enggan berjalan jauh, tersedia ojek kebun dengan motor yang dimodifikasi—ban belakangnya dilengkapi rantai agar tetap bisa melaju di jalur licin saat hujan. Bahkan para pecinta motor trail bisa menjadikan rute ini sebagai tantangan seru menuju lokasi.


Gunung Manglayang bukan lagi sekadar tempat mendaki. Di balik rindangnya pepohonan pinus dan aroma kopi yang menguar dari celah-celah kebun, sedang tumbuh harapan baru. Harapan bahwa dari secangkir kopi, masyarakat bisa membangun masa depan—melalui wisata, edukasi, dan semangat gotong royong.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)