![]() |
Gamelan Sunda (sumber : indonesiakaya) |
Di tengah deru modernitas yang terus mengalun kencang, suara gamelan Sunda hadir bak oase. Alunannya mendayu, menyusup pelan ke relung jiwa, seolah mengajak kita untuk menepi sejenak dari riuh kehidupan. Tak seperti gamelan Jawa yang tenang dan penuh harmoni, atau gamelan Bali yang enerjik dan menghentak, gamelan Sunda memiliki karakternya sendiri: lembut, lirih, dan penuh rasa. Suling yang mendesah dan rebab yang merengek menjadi pengiring setia, menjadikannya lebih dari sekadar musik—ia adalah bahasa rasa orang Sunda.
Sejatinya, gamelan bukanlah hal baru bagi masyarakat Tatar Sunda. Jejaknya dapat ditelusuri jauh ke masa lalu. Dalam naskah kuno Sewaka Darma yang diyakini berasal dari tahun 1435, disebutkan istilah "gangsa" yang berarti gamelan. Hal ini menunjukkan bahwa sejak ratusan tahun silam, masyarakat Sunda telah memiliki kepekaan dan keterampilan dalam bidang musik tradisional, bahkan sampai mengenal nama-nama instrumen dan jenis alunannya. Sejarawan Undang A. Darsa mencatat hal ini dalam makalahnya pada seminar “Pasunda-Bubat: Sejarah yang Paripurna” di Surabaya, 2018.
Tak hanya itu, naskah kuno lainnya yang berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang ditulis pada tahun 1518 Masehi, turut menyebut peran pemain gamelan yang dijuluki kumbang gending dan ahli karawitan sebagai paraguna. Istilah-istilah ini memperkuat bukti bahwa musik gamelan telah menjadi bagian penting dari kebudayaan Sunda sejak dulu kala.
Pada awal kemunculannya, gamelan Sunda hanya terdiri dari instrumen sederhana seperti bonang, saron (cempres), jenglong, dan gong. Namun seiring perkembangan waktu dan kebutuhan musikal, alat-alat seperti kendang, suling, serta rebab pun mulai ditambahkan. Dari sinilah kemudian muncul berbagai ragam bentuk gamelan di Tanah Sunda.
Tercatat ada banyak jenis gamelan Sunda, mulai dari ajeng, cara balen, degung, gambang kromong, salendro/pelog, goong gede, goong renteng, koromong, monggang, hingga toplek dan sekaten. Namun berdasarkan bentuk, susunan, serta kelengkapan instrumennya, gamelan Sunda secara umum dikelompokkan menjadi tiga: gamelan salendro/pelog, gamelan renteng, dan gamelan ketuk tilu.
Gamelan salendro dan pelog merupakan yang paling tersebar di seluruh wilayah Sunda. Keduanya digunakan dalam berbagai pertunjukan tradisional seperti wayang golek, tari-tarian, sendratari, hingga opera Sunda atau gending karesmen. Meskipun gamelan pelog memiliki perbedaan dalam laras dan jumlah penclon serta bilahnya, keberadaannya cenderung tergantikan oleh gamelan salendro yang lebih populer dan fleksibel.
Komposisi lengkap gamelan salendro pelog mencakup beragam waditra seperti rebab, kendang, gambang, bonang, rincik, kenong, selentem, hingga goong. Variannya pun beragam, termasuk gamelan salendro, pelog, ajeng, dan monggang Cigugur.
Lain halnya dengan gamelan renteng yang dikenal sejak abad ke-16. Nama “renteng” merujuk pada penyusunan alat-alat musiknya yang berjajar memanjang. Jenis gamelan ini memiliki dua laras: salendro dan pelog, dan biasanya terdiri dari kongkoang, cempres, goong, serta kendang sebagai pengatur irama. Dalam hal bentuk, goong renteng sering disamakan dengan gamelan degung, meski secara usia jauh lebih tua. Bahkan ada dugaan bahwa degung merupakan turunan dari goong renteng.
Gamelan ketuk tilu menjadi salah satu bentuk yang juga tersebar luas di Tatar Sunda. Nama "ketuk tilu" diambil dari alat ketuk (mirip bonang) yang berjumlah tiga buah. Ia biasanya dipakai untuk mengiringi tarian tradisional ibing ketuk tilu, dan dalam perkembangannya juga mendampingi ronggeng gunung, doger, hingga topeng banjet.
Namun dari semua bentuk gamelan yang berkembang di Tanah Sunda, gamelan degung lah yang dianggap paling ikonik. Bahkan dalam banyak kesempatan, masyarakat awam kerap menyamakan seluruh jenis gamelan Sunda sebagai “degung”. Degung sendiri berkembang pada akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19, dan dipercaya sebagai musik kalangan bangsawan. Nama "degung" berasal dari gabungan kata "ngadeg" (berdiri) dan "agung" (megah), yang menandakan bahwa musik ini diciptakan untuk menegaskan kemuliaan para menak atau bangsawan.
Pada masa Raden Adipati Aria Wiranatakusumah menjabat sebagai Bupati Cianjur (1912–1920), gamelan degung hanya boleh dimainkan secara instrumental, tanpa nyanyian. Alasannya, demi menjaga kesakralan suasana. Namun ketika beliau pindah ke Bandung dan membawa serta perangkat gamelannya, degung mulai dikenal masyarakat umum. Bahkan dalam satu perhelatan, musik degung memikat seorang saudagar kaya bernama Anang Thayib, yang kemudian meminta izin untuk memainkannya dalam hajatan.
Sejak saat itulah, gamelan degung menapaki babak baru sebagai musik rakyat, yang tak hanya hadir di pendopo, tapi juga di tengah masyarakat. Sayangnya, sejak era 1980-an, pamor gamelan degung mulai surut, tergeser oleh arus musik modern yang kian deras.
Namun denting gamelan Sunda tetap hidup—di hati orang-orang yang percaya bahwa suara alam dan budaya tak pernah benar-benar hilang, hanya menunggu didengarkan kembali.